KRITERIA KAFA’AH MENURUT 4 MADZHAB
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Pernikahan merupakan hal yang disyariatkan, dan itu merupakan sunnah para
rosul. Dan tidak diragukan lagi setiap
yang hendak menikah pasti ingin mewujudkan
sakinah, mawadah , warahmah dalam lingkup keluarganya. Dan islam merupakan agama yang paling
sempurna dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Karenanya untuk
menjaga keutuhan ruamah tangga, maka Islam menghapus jejek-jejek fanatisme
jahiliyyah yang telah ma’ruf dikalangan manusia, yaitu dengan meletakkan
pondasi-pondasi dalam pernikahan agar tercipta kestabilitas dalam rumah tangga.
Dan Allah Ta’ala telah meletakkan
neraca untuk mengetahui kemuliaan manusia yaitu pada ketaqwaan dan amal shalih.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
yYÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4
¨bÎ)
©!$#
îLìÎ=tã
×Î7yz
ÇÊÌÈ
“ Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.”(Qs Al Hujurat: 13)
oleh karena itu, islam sangat memerangi fanatisme terhadap golongan, yang
akan memecah belah persatuan ummat dan mengandung unsur-unsur bahaya yang besar
bagi masyarakat. Sebagaimana yang Nabi Shalallahu ‘Alaihi
wassallam sabdakan:
أَرْبَعٌ مِنْ أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ، الْفَخْرُ فِي اْلأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَاْلاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ
“Ada empat hal dari umatku yang termasuk perkara jahiliyah yang mereka
tidak meninggalkannya, yaitu berbangga-bangga dengan kebanggaan keluarga,
mencela nasab, dan meminta hujan kepada bintang-bintang dan niyahah”. (HR.
Muslim no.934)
Untuk menghindari adanya kriteria yang berbeda antara 2 insan yang berbeda,
dan berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda itulah islam mengatur
konsep Kafa’ah dalam pernikahan, karena hal ini sangat penting untuk mewujudkan
kesetaraan, dan keseimbangan antara keduanya guna mewujudkan stabilitas dalam
keluarga serta dalam pandangan masyarakat pada umumnya. Berawal dari latar
belakang inilah penulis membahas tentang Kriteria Kafa’ah menurut 4 Madzhab.
BAB 11
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kafa’ah
menurut 4 madzhab
Secara etimologi Kafa’ah berarti sama, sesuai, sebanding
antara suami dengan istrinya[1].
Maksudnya sebanding diantaranya adalah sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wa
sallam:
اًلْمسلمون
تتكافأ دماؤهم
Secara terminologi yang dimaksud Kafa’ah dalam pernikahan
adalah kesamaan antara calon suami dan calon istri, sama dalam kedudukan,
sebanding dalam tingkat sosial dan sama dalam akhlaq dan kekayaan.[3]
Secara terminologi para
ulama’ Madzhab berbeda pendapat dalam memberi pengertian Kafa’ah dalam
pernikahan. Perbedaan ini terkait dengan ukuran kafa’ah yang mereka
gunakan. Menurut Ulama’ Hanafiyah kafa’ah adalah kesamaan dalam hal nasab, Islam,
pekerjaan, merdeka, ketaqwaan, dan harta.[4]
Dan menurut Ulama’ Malikiyah Kafa’ah adalah kesamaan dalam agama dan
selamat dari cacat yang memperoleh seorang perempuan untuk melakukan khiyar
terhadap suami.[5]
Sedangkan menurut Syafi’iyyah Kafa’ah adalah kesamaan dalam hal nasab,
agama, merdeka, pekerjaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan seorang
perempuan melakukan khiyar terhadap suami.[6]
Dan menurut Ulama’ Hanabilah Kafa’ah adalah kesamaan dalam hal
Ketaqwaan, pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.[7]
Meskipun masalah keseimbangan tersebut tidak diatur secara mutlak dalam
undang-undang atau dalam Al-Qur’an, akan tetapi masalah tersebut penting untuk
mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram, sesuai dengan tujuan
pernikahan itu sendiri. Untuk mencapai hal tersebut, maka hendaknya dalam
pernikahan ada unsur Kafa’ah antara suami dan istri, yaitu persesuaian
keadaan antara calon suami dan istri atau antara keduanya sederajat.[8]
Hal itu dikarenakan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding
akan merupakan faktor kebahagiaan hidup antara suami dan istri dan lebih
menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan dan goncangan dalam rumah tangga[9]
Nabi
Salallahu ‘alaihi wa sallam memberikan neraca dalam hal kufu’ sebagaimana
dalam sabdanya:
“Dari Abu Hurairoh dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam : “Seorang
wanita dinikahi karena 4 perkara :karena hartanya, karena kedudukannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya, maka
pilihlah karena agamanya niscaya kau akan beruntung”[10]
Dari konteks hadits diatas Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam memberikan titik penekanan dalam hal agama, karena agama merupakan
cikal bakal kabahagiaan hakiki dalam kehidupan rumah tangga.
B. Kedudukan Kafa’ah dalam
pernikahan
Dalam
Al-Qur’an tidak ada nash secara jelas menerangkan konsep kafa’ah dalam
pernikahan, oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,
apakah kafa’ah penting dalam sebuah pernikahan atau tidak.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa’ah
tidak penting dalam sebuah pernikahan, menurutnya antara orang islam yang satu
dengan orang islam yang lainnya adalah sama (sekufu’). Semua orang islam
asalkan dia tidak pernah berzina, maka ia berhak menikah dengan semua wanita
muslimah yang tidak pernah berzina[11].
berdasarkan firman Allah SWT: “orang-orang
beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat.”( QS Al Hujurat: 10)
Begitu juga dengan al-Hasan al-Bashri, as-Sauri,
dan al-Karhi berpendapat bahwa kafa’ah bukanlah faktor penting dalam pernikahan
dan tidak termasuk syarat lazim pernikahan. Menurut mereka ketidakkufu’an calon
suami dan calon istri tidak menjadikan penghalang kelangsungan pernikahan
tersebut.[12]
Alasan-alasan mereka berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-Hujurot : 13:
“....
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Juga berdasarkan hadits Nabi SAW :
“ tidak ada keutamaan golongan arab atas orang ‘ajam
kecuali taqwa”[13]
Dari
ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa semua manusia sama dalam hak dan
kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan lainnya kecuali
dengan takwa. Dan mereka juga mengatakan bahwa penghormatan dan penghargaan
terhadap darah seseorang dalam hukum pidana ialah sama saja. jika yang membunuh
adalah orang yang terhormat dan yang dibunuh adalah orang jelata, maka hukuman
qishosh tetap dijalankan. jika kekufu’an diterapkan dalam pidana islam,
maka begitu pula ketentuan dalam pernikahan seharusnya tidak diterapkan.[14]
Sedangkan
jumhur fuqoha’ diantaranya adalah ulama empat madzhab berpendapat bahwa kafa’ah
sangat penting dalam pernikahan meskipun kafa’ah bukan merupakan
syarat sah suatu pernikahan dan hanya merupakan syarat lazim suatu
pernikahan. Mereka mengemukakan dalil
berdasarkan hadits Rosulullah dan akal (rasio).[15]
Diantara
hadits-hadits Nabi yang menjelaskan tentang kafa’ah adalah:
“ Dari Ibnu Umar bahwa Rosulullah saw bersabda : “orang
arab dengan lainnya sekufu’. Satu kabilah sekufu dengan kabilah yang sama, satu
kelompok sekufu dengan kampung yang sama, antara sesama laki-laki diantara
sekufu kecuali tukang jahit atau bekam”. ( HR. Al-Baihaqi)[16]
Adapun
secara rasio mereka berpendapat bahwa kehidupan rumah tangga sepasang suami
istri akan bahagia dan harmonis jika ada kekufu’an antara keduanya. Karena
apabila seorang perempuan yang berderajat tinggi menikah dengan laki-laki yang
lebih rendah derajatnya, berdasarkan adat kebiasaan, si istri akan merasa malu
dan hina dan si suami seharusnya menjadi kepala rumah tangga yang dihormati
akan menjadi rendah dan merasa kurang pantas berdiri sejajar dengan istri, dan
pada akhirnya keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga yang merupakan tujuan
utama pernikahan tidak akan tercapai.[17]
C. Hukum Kafa’ah
Dalam Pernikahan
Para
Ulama’ sepakat bahwa kafa’ah dalam pernikahan merupakan syarat akad.
Namun, mereka berselisih mengenai status syarat tersebut. Apakah kafa’ah termasuk
syarat lazim atau syarat sah dalam pernikahan?
Ulama fuqaha empat madzhab,
menurut pendapat rajih Hambali, dan
menurut pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Maliki, serta menurut
pendapat yang paling zahir dalam madzhab Syafi’i pendapat Syafi’iyyah yang
paling dzahir bahwasanya kafa’ah merupakan syarat lazim bukan syarat sah
dalam pernikahan, jika seorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak
sekufu dengannya, maka akadnya tetap sah. Dan bagi para wali memiliki hak menolaknya dan
memfaskh (membatalkan) pernikahannya, untuk mencegah kemadhorotan atas diri
mereka, kecuali mereka menjatuhkan hak mereka dalam penolakannya maka hal itu
harus dilazimi. Meskipun kafa’ah merupakan syarat sah, tapi pernikahan tetap
tidak sah, sampai para wali meridhainya. [18]
Hanafiyah
memperincikan pendapatnya dalam syarat pernikahan
Namun dikalangan ulama Hanafiyah sendiri terdapat
perbedaan pendapat tentang kedudukan kafa’ah dalam pernikahan. Menurut
madzhab Hanafi kafa’ah secara general adalah termasuk syarat kelaziman.
Tetapi menurut ulama Hanafiyah muta’akhirin, kafa’ah menjadi syarat sah
pernikahan dalam kondisi-kondisi tertentu, yaitu :
1.
Apabila seorang perempuan baligh berakal menikahkan dirinya sendiri dengan
seorang laki-laki yang tidak sekufu atau dalam pernikahan tersebut terdapat
unsur penipuan, maka dalam hal ini wali dari kelompok ashabah seperti ayah dan
kakek berhak untuk tidak menyetujui pernikahan sebelum terjadinya akad.
2.
Apabila seorang wanita yang tidak mengerti hukum, seperti anak kecil atau
orang gila, dinikahkan oleh walinya selain ayah atau kakek dengan orang yang
tidak sekufu, maka pernikahannya itu fasid karena tugas wali terkait
dengan kemaslahatan anak perempuan tersebut, menikahkan anak perempuan itu
dengan orang yang tidak sekufu dipandang tidak mengundang kemaslahatan
sama sekali.
3.
Apabila seorang ayah dikenal sebagai orang yang pilihannya selalu buruk,
kemudian ia menikahkan anak perempuannya yang belum atau tidak mengerti tentang
hukum dengan seorang yang tidak sekufu maka pernikahnnya menjadi batal.[19]
D. Kriteria Kafa’ah Menurut Jumhur Ulama’
Para ulama berbeda pendapat mengenai kriteria kafa’ah,
tapi ada beberapa kriteria yang disepakati oleh jumhur:
1. Agama
Yang
dimaksud agama disini adalah taqwa dan keshalihan. Ini merupakan pendapat
jumhur Hanafiyah[20]
kecuali Muhammad bin Hasan, Syafi’iyyah[21],
Malikiyyah[22],
dan Hanabilah[23]. dengan menggunakan dalil :
“ laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas oran-orang yang mukmin”. ( QS An-Nuur :3)
Dalil diatas menunjukkan
keharaman bagi seorang laki-laki fajir menikahi seorang wanita yang suci sampai
lelaki tersebut bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Dan diharamkan juga
seorang wanita fajir menikahi laki-laki yang suci.[24]
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan
bapak kalian juga satu (yaitu Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab
atas orang Ajam (non-Arab) dan tidak pula orang Ajam atas orang Arab. Begitu
pula orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam dan
tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan
takwa." (HR. Ahmad )[25]
2. Islam
Hanafiyah menisbatkan syarat ini hanya untuk ajam
(non arab), bertentangan dengan jumhur. Yang mereka maksudkan adalah asal
usulnya islam, yaitu nenek moyangnya. Maka barangsiapa masuk islam sendiri,
tidak sebanding dengan orang yang memiliki satu nenek moyang islam, karena
kabanggaan ajam adalah dengan islam. Mereka berpendapat demikian karena
identitas seseorang lengkap dengan bapak dan kakeknya.[26]
3. Nasab
Hanafiyah[27],
Syafi’iyyah[28],
dan Hanabilah[29]
sepakat memasukkan nasab sebagai timbangan kafa’ah . sedangkan Malikiyah
tidak menganggap kafa’ah dalam nasab, beliau menamakan nasab sebagai
kedudukan[30]. Nasab ialah hubungan seorang manusia dengan
asal usulnya dari bapak dan kakek. Yang dimaksud kafa’ah dalam hal ini
adalah seseorang yang diketahui siapa bapaknya, bukan anak pungut atau maula
(seorang budak yang telah dimerdekakan oleh tuannya) yang tidak diketahui
nasabnya. Hanya saja Hanafiyah
mengkhususkannya bagi orang-orang arab karena merekalah yang memiliki perhatian
untuk menjaga nasab mereka, membanggakannya dan merasa malu akibat ketidak
sesuaian nasab.[31]
Jumhur
sepakat bahwa seorang Quraisy sekufu dengan Quraisy yang lain. Begitu pun orang
arab, mereka sekufu dengan sesama Arab. Oleh karena itu, orang Arab tidak
sekufu dengan Quraisy, sebagaimana tidak seorangpun dari ajam sekufu
dengan orang Arab.[32]
Mereka berpendapat demikian dengan bersandar pada hadits
yang diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu
‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: .
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ الله ﷺ قَالَ: العَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكْفَاءُ بَعْضٍ، وَالمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكْفَاءُ بَعْضٍ، إِلاَّحَائِطاً
أَوْحَجَّاماً.
“ Dari Ibnu Umar bahwa
sesungguhnya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda : “ Orang arab
satu dengan lainnya sekufu’. Satu kabilah sekufu’ dengan kabilah yang sama,
kecuali tukang jahit atau bekam.” )HR: al-Hakim)[33]
Yang
benar adalah nasab bukanlah salah satu hal yang shahih (dibenarkan) dalam kafa’ah.
Hal ini selaras dengan perkataan Malikiyah. Karena keunggulan dan kemuliaan
Islam adalah menyamaratakan seluruh manusia dan memerangi fanatisme dan
golongan seperti yang digembor gemborkan kau m Jahiliyyah terdahulu. Oleh
karena itu penyebaran Islam diantara
manusia selain Arab merupakan Asas keunggulan agama islam ini. Dan sebagaimana
yang telah diketahui bahwa ummat manusia seluruhnya adalah anak adam, dan tidak
ada keutamaan orang Arab atas ajam kecuali Taqwa.[34]
4. Merdeka
Ini adalah syarat kafa’ah menurut jumhur yang terdiri dari
Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Maka seorang budak tidak sekufu dengan
orang merdeka, sebab aib dan rasa malu yang ditimbulkan olehnya lebih besar
daripada malu yang disebabkan oleh nasab[35].
Begitu juga halnya seorang budak yang kedudukannya sebagai budak hanya setengah
atau bekas budak, ia tidak sebanding dengan perempuan merdeka, sebab dia memiliki kekurangan akibat
perbudakan. Sebagaimana dalam hadits Bukhari, bahwa Rasulullah Sallallahu Alaihi
Wasallam memberi pilihan kepada Barirah ketika ia dimerdekakan dan suaminya
masih seorang budak.[36]
Hanafiyah dan Syafi’iyyah juga mensyaratkan kemerdekaan
asal-usul. Sedangkan Hanabilah menganggap semua orang yang dimerdekakan setara
dengan yang merdeka. Dan Malikiyah tidak mensyaratkan kemerdekaan dalam kafa’ah.[37]
5. Harta dan Kemakmuran
Yang dimaksud adalah kemampuan
untuk memberikan mahar dan nafkah untuk istri, bukan laki-laki yang miskin atau
kaya dan memiliki kekayaan. Oleh sebab itu, laki-laki yang miskin tidak
sebanding dengan wanita yang kaya. Sebagian Hanafiyah membatasi kemampuan
memberi nafkan selama sebulan. Sebaigian ulama lainnya berpendapat cuku sekedar
kemampuan mencari rezeqi untuknya.[38]
Hanafiyah dan Hanabilah
mensyaratkan kemampuan sebagai unsur nafkah. Sebagaimana sabda Nabi, dalam riwayat
tentang Fathimah binti Qais:
أَمَّا مُعَاوِيَةٌ فَصَعْلُوْكَ لاَ
مَالَ لَهُ
“ Sedangkan Muawiyah adalah
seorang yang miskin yang tidak punya harta.” juga karena
manusia merasa lebih bangga dengan harta daripada nasab, serta wanita merasa
dirugikan jika suaminya miskin dan tidak mampu menafkahi istri dan anaknya.[39]
Sementara Syafi’iyyah
dan Malikiyyah menganggap kemakmuran tidak termasuk ke dalam sifat kafa’ah. Sebab
harta adalah sesuatu yang bisa hilang. Tidak membanggakan bagi orang yang
memiliki nama baik dan pandangan yang jauh.[40]
Pendapat yang rajih sebagaimana yang dikatakan
oleh Wahbah az-Zuhaili[41]
dan Abdurrahman al-Jazairi[42]
adalah pendapat yang kedua, sebab kekayaan tidak bersifat abadi dan harta
adalah sesuatau yang akan pergi dan hilang. Rejeki dibagi-bagikan sesuai dengan
pendapatan. Dan faqir merupakan kemuliaan dalam agama.[43]
6. Pekerjaan atau Profesi
Yang dimaksud dengan
pekerjaan adalah adanya mata pencaharian yang dimiliki seseorang untuk dapat
menjamin nafkah keluarga[44].
Jumhur ulama selain Malikiyah sepakat memasuki pekerjaan ke dalam kafa’ah.
Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “
Orang arab satu dengan lainnya sekufu’, satu kabilah sekufu’ dengan kabilah
yang sama, satu kelompok sekufu’ dengan kampung yang sama, antara sesama
laki-laki diantara sekufu’ kecuali tukang jahit atau bakam.” (HR. Baihaqi)
Dalam hadits diatas
dijelaskan bahwa seseorang yang mempunyai pekerjaan terhormat sekufu dengan
orang yang mempunyai pekerjaan terhormat juga. Begitu juga sebaliknya,
seseorang yang mempunyai pekerjaan terhormat tidak sekufu’ dengan
seseorang yang pekerjaannya tukang bekam.
Menurut jumhur ulama,
pekerjaan seorang laki-laki minimal mendekati pekerjaan keluarga wanita.
Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, penghasilan laki-laki harus sebanding
dengan penghasilan pihak keluarga perempuan sesuai dengana adat yang berlaku.
Apabila menjahit menurut adat lebih tinggi derajatnya dibanding menenun, maka
penjahit itu tidak sebanding dengan anak penenun. Menanggapi masalah ink,
golongan Malikiyah berpendapat tidak ada perbedaan mengenai pekerjaan, semua
itu dapat berubah sesuai dengan takdir Allah, sehingga pekerjaan bagi ulama
Malikiyah tidak dimasukkan dalam kriteria kafa’ah.[45]
6. Terbebas dari cacat yang menyebabkan adanya pilihan
Seperti gila, lepra dan
kusta. Malikiyah dan Syafi’iyyah memasukkan point ini kedalam kafa’ah. Jika
ada seorang laki-laki atau perempuan yang memiliki aib tersebut maka ia tidak
sekufu’ dengan orang yang selamat dari aib. Karena hal itu akan merusak
tujuan pernikahan.[46]
Hanafiyah dan Hanabilah
tidak memasukkan terbebas dari cacat ini ke dalam syarat kafa’ah. Akan
tetapi menetapkan khiyar bagi wanita bukan kepada walinya, karena kemadhorotan
yang akan mengenainya.[47]
E. Orang Yang Berhak Menentukan Kafa’ah Dalam Pernikahan
Para fuqaha sepakat bahwa
yang berhak menentukan kafa’ah adalah seorang perempuan dan walinya,
karena menurut mereka seorang perempuan dan walinya biasanya akan merasa
terhina bila menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu’. sedangkan
laki-laki yang terpandang tidak akan merasa terhina bila menikah dengan
perempuan yang status sosialnya lebih rendah darinya. Dalam menentukan kafa’ah
atara wali dengan anak perempuan yang akan menikah mempunyai hak sama.
Apabila seorang wali menikahkan anaknya, dan anak perempuan tersebut menganggap
calon suaminya tidak sekufu’ dan walinya tidak merestuai, maka wali
boleh mengajukan faskh nikah.
Golongan Malikiyah
berpendapat bahwa wali dapat merusak pernikahan anak perempuannya selama belum
di dukhul oleh suaminya. Jika antara keduanya telah melakukan hubungan
badan. Maka pernikahan tersebut tidak dapat faskh. Sedangkan ulama Hanafiyah
dan Syafi’iyah, pernikahan itu dapat Faskh sebelum anak perempuan itu hamil
atau melahirkan[48]
F. Waktu Berlakunya Kafa’ah
Waktu berlakunya kafa’ah
antara kedua calon mempelai adalah pada waktu dilaksanakannya akad nikah.
Menurut H. S.A
Al Hamdani tentang berlakunya kafa’ah yaitu dinilai pada waktu
terjadinya akad. Apabila keduanya berubah sesudah terjadinya akad, maka tidak
mempengaruhi akad karena syarat akan diteliti pada waktu akad[49].
Oleh sebab itu apabila seseorang pada waktu akad mempunyai pencaharian yang
terhormat, mampu memberi nafkah atau orangnya sholeh, kemudian berubah menjadi
hina, tidak sanggup memberi nafkah atau fasiq terhadap perintah Allah SWT dan
semuanya itu terjadi setelah dilangsungkan pernikahan, maka akadnya tetap
berlaku.
Untuk
menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sesudah dilangsungkannya
pernikahan, maka hendaknya pihak yang mempunyai hak dalam menentukan kafa’ah
menyatakan pendapatnya tentang kedua mempelai pada saat akad nikah. Dan
sebaliknya persetujuan tentang kafa’ah ini dicatat oleh pihak-pihak yang
akan menggugat dikemudian hati. Hal semacam ini mengandung hikmah supaya
pernikahan yang dilangsungkan itu benar-benar diteliti dahulu dan seorang yang
akan mau menikah harus mampunyai niat yang sungguh-sungguh agar tidak ada
penyesalan dalam pernikahan.
Dalam
Fiqih Sunnah dijelaskan bahwa kufu’ diukur berlangsungnya akad nikah.
Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan-kekurangan, tidak mempengaruhi hukum
akad nikahnya. Jika pada waktu berlakunya akad nikah, suami memiliki pekerjaan
terhormat dan mampu memberi nafkah istrinya atau dia orang yang shaleh, tetapi
di kemudian hari ada perubahan, misalnya pekerjaannya kasar, atau tidak mampu
lagi memmberi nafkah, atau setelah nikah berbuat durhaka kepada Allah, maka
akad nikhanya tetap sah seperti sebelumnya. Memang masa itu berbolak-balik dan
manusia tidak selamanya langgeng keadaannya dalam satu sifat saja. karena
itulah istri harus dapat menerima kenyataannya, bersabar dan bertaqwa kepada
Allah. Karena sabar dan bertaqwa kepada Allah merupakan watak orang-orang yang
besar.[50]
BAB
III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Pengertian
Kafa’ah
|
Hanafiyah
1. Islam
2. Nasab
3. Pekerjaan
4. Merdeka
5. Ketaqwaan
6. Harta
|
Malikiyah
1. Agama
2. Selamat dari cacat
|
Syafi’iyah
1. Agama
2. Nasab
3. Merdeka
4. Pekerjaan
5. Selamat dari cacat
|
Hanabilah
1. Taqwa
2. Pekerjaan
3. Harta
4. Merdeka
5. Nasab
|
Jumhur
1. Agama
2. Nasab
3. Pekerjaan
4. merdeka
5. Harta
|
Pensyaratan Kafa’ah
|
Syarat kelaziman/ sah (ulama’
mutaakhirin syarat sah di beberapa kondisi, dan syarat lazim dalam beberapa
kondisi yang lain)
|
syarat lazim bukan
syarat sah
|
Syarat lazim bukan syarat sah
|
Syarat lazim bukan syarat sah
|
Syarat lazim bukan syarat sah
|
3.2. SARAN
1. Bagi para
pemuda khususnya para pemudi yang hendak menikah, memperhatikan masalah kafa’ah
ini. Meskipun Allah Ta’ala tidak melihat seseorang dari dhahirnya, tapi
demi kemaslahatan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga serta agar tercipta
sebuah keluarga yang Sakinah,
mawaddah, wa Rahmah.
2. Bagi para
wali meskipun para Ulama’ telah menetapkan barometer kafa’ah dalam
pernikahan, hendaknya tidak mempersulit anak-anaknya yang hendak
menyempurnakan separuh agamanya. Waallahu
A’lam Bish showab
3.2. PENUTUP
Pada akhir penutupan ini tak ada kata yang pantas saya
ucapkan selain rasa syukur kepada Rabb semesta Alam. Atas kehendak-Nya saya
dapat menyelesaikan makalah ini. Saya pribadi sangat berharap saran dan kritik
yang membangun sebagai penyempurna makalah yang saya buat ini. Tak lupa saya
ucapkan Jazakumullah Khairan Katsiran bagi siapa saja yang berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini sebagai ladang amal kebaikan kita
kelak di Akhirat. Wallahu A'lam bishshowab.
REFERENSI
Al Qur’anul
Karim,
Abbas Shahabuddin Ahmad bin Idris al Qarafi, Abu, ad Dakhirotu lil
Qarafi, cet-1, (Beirut: Darul Muslim, 1994 M), Juz 4
Abdillah Muhammad bin Isma’il al Bukhari, Abu, Shahih Bukhari,
(Riyadh: Daar As-Salam), Juz 3
Abu bin Mahmala Syafi’i, Al Hasan, al Bab Fie Fiqhi Syafi’i,cet-1,
(Madinah: Daar Al-Bukhari, 1416 H), Juz 1
Al
Jazari, Abdurrahman, Fiqh ‘Ala
madzaahib al Arba’ah, cet-5, ( Libanon : Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 1435H)
Aziz Dahlan, Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam pdf
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu terj Abdul Hayyie
al-Kattani dkk, cet-1, (Jakarta: Gema Insani, 2011M) jld.9
Az-Zuhaili, Wahbah, Mausu’ah Al Fiqh Al Islami Wa Qadhaya AlMu’ashiroh,
cet-3, (Beirut: Darul Fikr, 2013M), jld.8
Bin Ahmad bin Abi’Isy Sarkhasi,
Muhammad, Al Mabshuut, (Beirut: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 1414 H), Juz 5
Bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Abdullah, al Kafii fie Fiqh Imam
Ahmad, cet-1,(Beirut- Libanon: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1414 H), Juz 3
Bin
Hajjaj an-Naisaburi, Muslim, Shahih Muslim,cet-7, (Beirut: Daar Al Kutub
Al Ilmiyah, 2015M)
Bin Hanbal, Ahmad, Al Musnad, cet-1,
(Libanon: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 2008M), jld 5
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Midnes Surya Grafindo, 1998
M)
Katsir, Ibnu, Mukhtasor Tafsir bnu Katsir (mukhtasor wa tahqiq) Ali
ash-Shobuny,cet-7, (Beirut-Libanon: Daar al Qur’an al Karim, 1402 H),
juz 2
Mandzur, Ibnu, Lisanul Arab, ( Beirut- Libanon: Daar ash-Shodiir,
711H)
Muhammad bin Qudamah, Abu, al mughni li ibnu Qudamah,
cet-1,(Beirut-Libanon: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 1414 H), juz 7
Sabiq, Sayyid, Shahih Fiqih Sunnah, cet-1, (Qohiroh: Darul Fath,
1421H), jld 2
[2] Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa
Adillatuhu terj Abdul Hayyie
al-Kattani dkk, cet-1, (Jakarta: Gema Insani, 2011 M), jild 9, hlm 213.
[4] Abdurrahman Al-Jazari, Fiqh A’la madzaahib
al Arba’ah, Cet-5, ( Libanon: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1435 H), jild 4,
hlm. 53
[12] Wahbah Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al- Islami Wal Qadhaya Al Mu’ashiroh, Cet-3,
(Beirut: Darul Fikr, 2013 M), jld 8, hlm. 228
[13] HR. Ahmad,
Musnad Imam Ahmad, Cet-1, (Libanon: Daar Al Kutub Al Ilmiyah,
2008 M) jld 5, hlm. 411
[19]. Wahbah Zuhaili, Mausu’ah
Al-Fiqhi Al-Islami......., jild 8, hlm. 233
[21] Al Hasan
Abu bin Mahmala Syafi’i, Al Bab Fie Fiqhi Syafi’i, cet-1, (Madinah:
Daar Al Bukhari, 1416 ), Juz 1, hlm.303
[22] Ahmad bin Idris al Qarafi, Ad-Dakhirotu lil
Qarafie, cet-1, (Beirut: Darul Muslim, 1994 M), juz 4, hlm.211
[23] Ibnu Qudamah, Al Kafi Fie Fiqh Imam Ahmad,cet-1,
(Beirut-Libanon: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 1414 H), juz 3, hlm. 21
[24] Ibnu Katsir, Mukhtasor tafsi Ibnu Katsir
(mukhtasor wa tahqiq) Ali ash-shobuny, cet-7, (Beirut-Libanon: Dar
al Qur’an al-Karim, 1402 H) juz 2, hlm.582
[25] Imam Ahmad, al
Musnad.......,juz 7, hlm. 474
[30] Wahbah az –Zuhaili, Musu’ah.....
240
[31] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah.....hlm.
240
[33] Hadits ini tidak
diketahui sanadnya dan Abu Hatim mengatakan kemungkarannya.
[35] Abdul Karim Zaidan,
al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah......., hlm. 334
[37] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah.......juz
8, hlm. 239
[39] ibid
[40] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh
Islam Wa adillatuh.......juz 9 hlm. 6754
[41] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah.......
juz 8, hlm 243
[43] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah.......
juz 8, hlm. 243
[47] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah.......juz
8, hlm. 244