Senin, 23 Januari 2017

KRITERIA KAFA'AH MENURUT 4 MADZHAB




KRITERIA KAFA’AH MENURUT 4 MADZHAB

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Pernikahan merupakan hal yang disyariatkan, dan itu merupakan sunnah para rosul.  Dan tidak diragukan lagi setiap yang hendak menikah pasti ingin mewujudkan  sakinah, mawadah , warahmah dalam lingkup keluarganya.  Dan islam merupakan agama yang paling sempurna dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Karenanya untuk menjaga keutuhan ruamah tangga, maka Islam menghapus jejek-jejek fanatisme jahiliyyah yang telah ma’ruf  dikalangan manusia, yaitu dengan meletakkan pondasi-pondasi dalam pernikahan agar tercipta kestabilitas dalam rumah tangga. Dan Allah Ta’ala  telah meletakkan neraca untuk mengetahui kemuliaan manusia yaitu pada ketaqwaan dan amal shalih. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
“ Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(Qs Al Hujurat: 13)
oleh karena itu, islam sangat memerangi fanatisme terhadap golongan, yang akan memecah belah persatuan ummat dan mengandung unsur-unsur bahaya yang besar bagi masyarakat. Sebagaimana yang Nabi Shalallahu ‘Alaihi wassallam sabdakan:

أَرْبَعٌ مِنْ أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ، الْفَخْرُ فِي اْلأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَاْلاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ

Ada empat hal dari umatku yang termasuk perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya, yaitu berbangga-bangga dengan kebanggaan keluarga, mencela nasab, dan meminta hujan kepada bintang-bintang dan niyahah”. (HR. Muslim no.934)
Untuk menghindari adanya kriteria yang berbeda antara 2 insan yang berbeda, dan berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda itulah islam mengatur konsep Kafa’ah dalam pernikahan, karena hal ini sangat penting untuk mewujudkan kesetaraan, dan keseimbangan antara keduanya guna mewujudkan stabilitas dalam keluarga serta dalam pandangan masyarakat pada umumnya. Berawal dari latar belakang inilah penulis membahas tentang Kriteria Kafa’ah menurut 4 Madzhab.



BAB 11
PEMBAHASAN
A.            Pengertian Kafa’ah menurut 4 madzhab
Secara etimologi Kafa’ah berarti sama, sesuai, sebanding antara suami dengan istrinya[1]. Maksudnya sebanding diantaranya adalah sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam:
اًلْمسلمون تتكافأ دماؤهم
Darah orang-orang Islam setara”.[2]
Secara terminologi yang dimaksud Kafa’ah dalam pernikahan adalah kesamaan antara calon suami dan calon istri, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sama dalam akhlaq dan kekayaan.[3]
Secara terminologi  para ulama’ Madzhab berbeda pendapat dalam memberi pengertian Kafa’ah dalam pernikahan. Perbedaan ini terkait dengan ukuran kafa’ah yang mereka gunakan. Menurut Ulama’ Hanafiyah kafa’ah  adalah kesamaan dalam hal nasab, Islam, pekerjaan, merdeka, ketaqwaan, dan harta.[4] Dan menurut Ulama’ Malikiyah Kafa’ah adalah kesamaan dalam agama dan selamat dari cacat yang memperoleh seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.[5] Sedangkan menurut Syafi’iyyah Kafa’ah adalah kesamaan dalam hal nasab, agama, merdeka, pekerjaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan seorang perempuan melakukan khiyar terhadap suami.[6] Dan menurut Ulama’ Hanabilah Kafa’ah adalah kesamaan dalam hal Ketaqwaan, pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.[7]
Meskipun masalah keseimbangan tersebut tidak diatur secara mutlak dalam undang-undang atau dalam Al-Qur’an, akan tetapi masalah tersebut penting untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram, sesuai dengan tujuan pernikahan itu sendiri. Untuk mencapai hal tersebut, maka hendaknya dalam pernikahan ada unsur Kafa’ah antara suami dan istri, yaitu persesuaian keadaan antara calon suami dan istri atau antara keduanya sederajat.[8] Hal itu dikarenakan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding akan merupakan faktor kebahagiaan hidup antara suami dan istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan dan goncangan dalam rumah tangga[9]
            Nabi Salallahu ‘alaihi wa sallam memberikan neraca dalam hal kufu’ sebagaimana dalam sabdanya:
 Dari Abu Hurairoh dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam : “Seorang wanita dinikahi karena 4 perkara :karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya,  maka pilihlah karena agamanya niscaya kau akan beruntung”[10]
            Dari konteks hadits  diatas Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memberikan titik penekanan dalam hal agama, karena agama merupakan cikal bakal kabahagiaan hakiki dalam kehidupan rumah tangga.
B. Kedudukan  Kafa’ah dalam pernikahan
            Dalam Al-Qur’an tidak ada nash secara jelas menerangkan konsep kafa’ah dalam pernikahan, oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah kafa’ah penting dalam sebuah pernikahan atau tidak.
            Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa’ah tidak penting dalam sebuah pernikahan, menurutnya antara orang islam yang satu dengan orang islam yang lainnya adalah sama (sekufu’). Semua orang islam asalkan dia tidak pernah berzina, maka ia berhak menikah dengan semua wanita muslimah yang tidak pernah berzina[11]. berdasarkan firman Allah SWT:   orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”( QS Al Hujurat: 10)
                Begitu juga dengan al-Hasan al-Bashri, as-Sauri, dan al-Karhi berpendapat bahwa kafa’ah bukanlah faktor penting dalam pernikahan dan tidak termasuk syarat lazim pernikahan. Menurut mereka ketidakkufu’an calon suami dan calon istri tidak menjadikan penghalang kelangsungan pernikahan tersebut.[12] Alasan-alasan mereka berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-Hujurot : 13:
“.... Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
            Juga berdasarkan hadits Nabi SAW :
 “ tidak ada  keutamaan golongan arab atas orang ‘ajam kecuali taqwa”[13]
            Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa semua manusia sama dalam hak dan kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan lainnya kecuali dengan takwa. Dan mereka juga mengatakan bahwa penghormatan dan penghargaan terhadap darah seseorang dalam hukum pidana ialah sama saja. jika yang membunuh adalah orang yang terhormat dan yang dibunuh adalah orang jelata, maka hukuman qishosh tetap dijalankan. jika kekufu’an diterapkan dalam pidana islam, maka begitu pula ketentuan dalam pernikahan seharusnya tidak diterapkan.[14]
            Sedangkan jumhur fuqoha’ diantaranya adalah ulama empat madzhab berpendapat bahwa kafa’ah sangat penting dalam pernikahan meskipun kafa’ah bukan merupakan syarat sah suatu pernikahan dan hanya merupakan syarat lazim suatu pernikahan.  Mereka mengemukakan dalil berdasarkan hadits Rosulullah dan akal (rasio).[15]
            Diantara hadits-hadits Nabi yang menjelaskan tentang kafa’ah adalah:
“ Dari Ibnu Umar bahwa Rosulullah saw bersabda : “orang arab dengan lainnya sekufu’. Satu kabilah sekufu dengan kabilah yang sama, satu kelompok sekufu dengan kampung yang sama, antara sesama laki-laki diantara sekufu kecuali tukang jahit atau bekam”. ( HR. Al-Baihaqi)[16]
            Adapun secara rasio mereka berpendapat bahwa kehidupan rumah tangga sepasang suami istri akan bahagia dan harmonis jika ada kekufu’an antara keduanya. Karena apabila seorang perempuan yang berderajat tinggi menikah dengan laki-laki yang lebih rendah derajatnya, berdasarkan adat kebiasaan, si istri akan merasa malu dan hina dan si suami seharusnya menjadi kepala rumah tangga yang dihormati akan menjadi rendah dan merasa kurang pantas berdiri sejajar dengan istri, dan pada akhirnya keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga yang merupakan tujuan utama pernikahan tidak akan tercapai.[17]

C.  Hukum Kafa’ah Dalam Pernikahan
            Para Ulama’ sepakat bahwa kafa’ah dalam pernikahan merupakan syarat akad. Namun, mereka berselisih mengenai status syarat tersebut. Apakah kafa’ah termasuk syarat lazim atau syarat sah dalam pernikahan?
Ulama fuqaha empat madzhab, menurut pendapat  rajih Hambali, dan menurut pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Maliki, serta menurut pendapat yang paling zahir dalam madzhab Syafi’i pendapat Syafi’iyyah yang paling dzahir bahwasanya kafa’ah merupakan syarat lazim bukan syarat sah dalam pernikahan, jika seorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka akadnya tetap sah. Dan bagi para wali memiliki hak menolaknya dan memfaskh (membatalkan) pernikahannya, untuk mencegah kemadhorotan atas diri mereka, kecuali mereka menjatuhkan hak mereka dalam penolakannya maka hal itu harus dilazimi. Meskipun kafa’ah merupakan syarat sah, tapi pernikahan tetap tidak sah, sampai para wali meridhainya. [18]
            Hanafiyah memperincikan pendapatnya dalam syarat pernikahan    
Namun dikalangan ulama Hanafiyah sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan kafa’ah dalam pernikahan. Menurut madzhab Hanafi kafa’ah secara general adalah termasuk syarat kelaziman. Tetapi menurut ulama Hanafiyah muta’akhirin, kafa’ah menjadi syarat sah pernikahan dalam kondisi-kondisi tertentu, yaitu :
1.      Apabila seorang perempuan baligh berakal menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu atau dalam pernikahan tersebut terdapat unsur penipuan, maka dalam hal ini wali dari kelompok ashabah seperti ayah dan kakek berhak untuk tidak menyetujui pernikahan sebelum terjadinya akad.
2.      Apabila seorang wanita yang tidak mengerti hukum, seperti anak kecil atau orang gila, dinikahkan oleh walinya selain ayah atau kakek dengan orang yang tidak sekufu, maka pernikahannya itu fasid karena tugas wali terkait dengan kemaslahatan anak perempuan tersebut, menikahkan anak perempuan itu dengan orang yang tidak sekufu dipandang tidak mengundang kemaslahatan sama sekali.
3.      Apabila seorang ayah dikenal sebagai orang yang pilihannya selalu buruk, kemudian ia menikahkan anak perempuannya yang belum atau tidak mengerti tentang hukum dengan seorang yang tidak sekufu  maka pernikahnnya menjadi batal.[19]

D. Kriteria Kafa’ah  Menurut Jumhur Ulama’
            Para ulama berbeda pendapat mengenai kriteria kafa’ah, tapi ada beberapa kriteria yang disepakati oleh jumhur:
1. Agama
            Yang dimaksud agama disini adalah taqwa dan keshalihan. Ini merupakan pendapat jumhur Hanafiyah[20] kecuali Muhammad bin Hasan, Syafi’iyyah[21], Malikiyyah[22], dan Hanabilah[23].  dengan menggunakan dalil :
 laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”. ( QS An-Nuur :3)

Dalil diatas menunjukkan keharaman bagi seorang laki-laki fajir menikahi seorang wanita yang suci sampai lelaki tersebut bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Dan diharamkan juga seorang wanita fajir menikahi laki-laki yang suci.[24]
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan tidak pula orang Ajam atas orang Arab. Begitu pula orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa." (HR. Ahmad )[25]
2. Islam
Hanafiyah menisbatkan syarat ini hanya untuk ajam (non arab), bertentangan dengan jumhur. Yang mereka maksudkan adalah asal usulnya islam, yaitu nenek moyangnya. Maka barangsiapa masuk islam sendiri, tidak sebanding dengan orang yang memiliki satu nenek moyang islam, karena kabanggaan ajam adalah dengan islam. Mereka berpendapat demikian karena identitas seseorang lengkap dengan bapak dan kakeknya.[26]
3. Nasab

            Hanafiyah[27], Syafi’iyyah[28], dan Hanabilah[29] sepakat memasukkan nasab sebagai timbangan kafa’ah . sedangkan Malikiyah tidak menganggap kafa’ah dalam nasab, beliau menamakan nasab sebagai kedudukan[30].  Nasab ialah hubungan seorang manusia dengan asal usulnya dari bapak dan kakek. Yang dimaksud kafa’ah dalam hal ini adalah seseorang yang diketahui siapa bapaknya, bukan anak pungut atau maula (seorang budak yang telah dimerdekakan oleh tuannya) yang tidak diketahui nasabnya. Hanya saja  Hanafiyah mengkhususkannya bagi orang-orang arab karena merekalah yang memiliki perhatian untuk menjaga nasab mereka, membanggakannya dan merasa malu akibat ketidak sesuaian nasab.[31]
            Jumhur sepakat bahwa seorang Quraisy sekufu dengan Quraisy yang lain. Begitu pun orang arab, mereka sekufu dengan sesama Arab. Oleh karena itu, orang Arab tidak sekufu dengan Quraisy, sebagaimana tidak seorangpun dari ajam sekufu dengan orang Arab.[32]  
Mereka berpendapat demikian dengan bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari  Umar Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:  . 
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ الله قَالَ:  العَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكْفَاءُ بَعْضٍ،  وَالمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكْفَاءُ بَعْضٍ، إِلاَّحَائِطاً أَوْحَجَّاماً.
Dari Ibnu Umar bahwa sesungguhnya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda : “ Orang arab satu dengan lainnya sekufu’. Satu kabilah sekufu’ dengan kabilah yang sama, kecuali tukang jahit atau bekam.”  )HR: al-Hakim)[33]
            Yang benar adalah nasab bukanlah salah satu hal yang shahih (dibenarkan) dalam kafa’ah. Hal ini selaras dengan perkataan Malikiyah. Karena keunggulan dan kemuliaan Islam adalah menyamaratakan seluruh manusia dan memerangi fanatisme dan golongan seperti yang digembor gemborkan kau m Jahiliyyah terdahulu. Oleh karena itu  penyebaran Islam diantara manusia selain Arab merupakan Asas keunggulan agama islam ini. Dan sebagaimana yang telah diketahui bahwa ummat manusia seluruhnya adalah anak adam, dan tidak ada keutamaan orang Arab atas ajam kecuali Taqwa.[34]

4. Merdeka
Ini adalah syarat kafa’ah menurut jumhur yang terdiri dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Maka seorang budak tidak sekufu dengan orang merdeka, sebab aib dan rasa malu yang ditimbulkan olehnya lebih besar daripada malu yang disebabkan oleh nasab[35]. Begitu juga halnya seorang budak yang kedudukannya sebagai budak hanya setengah atau bekas budak, ia tidak sebanding dengan perempuan merdeka, sebab dia memiliki kekurangan akibat perbudakan. Sebagaimana dalam hadits Bukhari, bahwa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam memberi pilihan kepada Barirah ketika ia dimerdekakan dan suaminya masih seorang budak.[36]
Hanafiyah dan Syafi’iyyah juga mensyaratkan kemerdekaan asal-usul. Sedangkan Hanabilah menganggap semua orang yang dimerdekakan setara dengan yang merdeka. Dan Malikiyah tidak mensyaratkan kemerdekaan dalam kafa’ah.[37]
5. Harta dan Kemakmuran
Yang dimaksud adalah kemampuan untuk memberikan mahar dan nafkah untuk istri, bukan laki-laki yang miskin atau kaya dan memiliki kekayaan. Oleh sebab itu, laki-laki yang miskin tidak sebanding dengan wanita yang kaya. Sebagian Hanafiyah membatasi kemampuan memberi nafkan selama sebulan. Sebaigian ulama lainnya berpendapat cuku sekedar kemampuan mencari rezeqi untuknya.[38]
Hanafiyah dan Hanabilah mensyaratkan kemampuan sebagai unsur nafkah. Sebagaimana sabda Nabi, dalam riwayat tentang Fathimah binti Qais:
أَمَّا مُعَاوِيَةٌ فَصَعْلُوْكَ لاَ مَالَ لَهُ
“ Sedangkan Muawiyah adalah seorang yang miskin yang tidak punya harta.” juga karena manusia merasa lebih bangga dengan harta daripada nasab, serta wanita merasa dirugikan jika suaminya miskin dan tidak mampu menafkahi istri dan anaknya.[39]
Sementara Syafi’iyyah dan Malikiyyah menganggap kemakmuran tidak termasuk ke dalam sifat kafa’ah. Sebab harta adalah sesuatu yang bisa hilang. Tidak membanggakan bagi orang yang memiliki nama baik dan pandangan yang jauh.[40]
Pendapat yang rajih sebagaimana yang dikatakan oleh Wahbah az-Zuhaili[41] dan Abdurrahman al-Jazairi[42] adalah pendapat yang kedua, sebab kekayaan tidak bersifat abadi dan harta adalah sesuatau yang akan pergi dan hilang. Rejeki dibagi-bagikan sesuai dengan pendapatan. Dan faqir merupakan kemuliaan dalam agama.[43]
6. Pekerjaan atau Profesi
            Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah adanya mata pencaharian yang dimiliki seseorang untuk dapat menjamin nafkah keluarga[44]. Jumhur ulama selain Malikiyah sepakat memasuki pekerjaan ke dalam kafa’ah. Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Orang arab satu dengan lainnya sekufu’, satu kabilah sekufu’ dengan kabilah yang sama, satu kelompok sekufu’ dengan kampung yang sama, antara sesama laki-laki diantara sekufu’ kecuali tukang jahit atau bakam.”  (HR. Baihaqi)
            Dalam hadits diatas dijelaskan bahwa seseorang yang mempunyai pekerjaan terhormat sekufu dengan orang yang mempunyai pekerjaan terhormat juga. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang mempunyai pekerjaan terhormat tidak sekufu’ dengan seseorang yang pekerjaannya tukang bekam.
            Menurut jumhur ulama, pekerjaan seorang laki-laki minimal mendekati pekerjaan keluarga wanita. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, penghasilan laki-laki harus sebanding dengan penghasilan pihak keluarga perempuan sesuai dengana adat yang berlaku. Apabila menjahit menurut adat lebih tinggi derajatnya dibanding menenun, maka penjahit itu tidak sebanding dengan anak penenun. Menanggapi masalah ink, golongan Malikiyah berpendapat tidak ada perbedaan mengenai pekerjaan, semua itu dapat berubah sesuai dengan takdir Allah, sehingga pekerjaan bagi ulama Malikiyah tidak dimasukkan dalam kriteria kafa’ah.[45]
6. Terbebas dari cacat yang menyebabkan adanya pilihan
            Seperti gila, lepra dan kusta. Malikiyah dan Syafi’iyyah memasukkan point ini kedalam kafa’ah. Jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang memiliki aib tersebut maka ia tidak sekufu’ dengan orang yang selamat dari aib. Karena hal itu akan merusak tujuan pernikahan.[46]
            Hanafiyah dan Hanabilah tidak memasukkan terbebas dari cacat ini ke dalam syarat kafa’ah. Akan tetapi menetapkan khiyar bagi wanita bukan kepada walinya, karena kemadhorotan yang akan mengenainya.[47]

E. Orang Yang Berhak Menentukan Kafa’ah Dalam Pernikahan
            Para fuqaha sepakat bahwa yang berhak menentukan kafa’ah adalah seorang perempuan dan walinya, karena menurut mereka seorang perempuan dan walinya biasanya akan merasa terhina bila menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu’. sedangkan laki-laki yang terpandang tidak akan merasa terhina bila menikah dengan perempuan yang status sosialnya lebih rendah darinya. Dalam menentukan kafa’ah atara wali dengan anak perempuan yang akan menikah mempunyai hak sama. Apabila seorang wali menikahkan anaknya, dan anak perempuan tersebut menganggap calon suaminya tidak sekufu’ dan walinya tidak merestuai, maka wali boleh mengajukan faskh nikah.
            Golongan Malikiyah berpendapat bahwa wali dapat merusak pernikahan anak perempuannya selama belum di dukhul oleh suaminya. Jika antara keduanya telah melakukan hubungan badan. Maka pernikahan tersebut tidak dapat faskh. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, pernikahan itu dapat Faskh sebelum anak perempuan itu hamil atau melahirkan[48]

F. Waktu Berlakunya Kafa’ah
            Waktu berlakunya kafa’ah antara kedua calon mempelai adalah pada waktu dilaksanakannya akad nikah.
            Menurut  H. S.A Al Hamdani tentang berlakunya kafa’ah yaitu dinilai pada waktu terjadinya akad. Apabila keduanya berubah sesudah terjadinya akad, maka tidak mempengaruhi akad karena syarat akan diteliti pada waktu akad[49]. Oleh sebab itu apabila seseorang pada waktu akad mempunyai pencaharian yang terhormat, mampu memberi nafkah atau orangnya sholeh, kemudian berubah menjadi hina, tidak sanggup memberi nafkah atau fasiq terhadap perintah Allah SWT dan semuanya itu terjadi setelah dilangsungkan pernikahan, maka akadnya tetap berlaku.
Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sesudah dilangsungkannya pernikahan, maka hendaknya pihak yang mempunyai hak dalam menentukan kafa’ah menyatakan pendapatnya tentang kedua mempelai pada saat akad nikah. Dan sebaliknya persetujuan tentang kafa’ah ini dicatat oleh pihak-pihak yang akan menggugat dikemudian hati. Hal semacam ini mengandung hikmah supaya pernikahan yang dilangsungkan itu benar-benar diteliti dahulu dan seorang yang akan mau menikah harus mampunyai niat yang sungguh-sungguh agar tidak ada penyesalan dalam pernikahan.
Dalam Fiqih Sunnah dijelaskan bahwa kufu’ diukur berlangsungnya akad nikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan-kekurangan, tidak mempengaruhi hukum akad nikahnya. Jika pada waktu berlakunya akad nikah, suami memiliki pekerjaan terhormat dan mampu memberi nafkah istrinya atau dia orang yang shaleh, tetapi di kemudian hari ada perubahan, misalnya pekerjaannya kasar, atau tidak mampu lagi memmberi nafkah, atau setelah nikah berbuat durhaka kepada Allah, maka akad nikhanya tetap sah seperti sebelumnya. Memang masa itu berbolak-balik dan manusia tidak selamanya langgeng keadaannya dalam satu sifat saja. karena itulah istri harus dapat menerima kenyataannya, bersabar dan bertaqwa kepada Allah. Karena sabar dan bertaqwa kepada Allah merupakan watak orang-orang yang besar.[50]
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN


Pengertian
 Kafa’ah
Hanafiyah
1. Islam
2. Nasab
3. Pekerjaan
4. Merdeka
5. Ketaqwaan
6. Harta
Malikiyah
1. Agama
2. Selamat dari cacat
Syafi’iyah
1. Agama
2. Nasab
3. Merdeka
4. Pekerjaan
5. Selamat dari cacat
Hanabilah
1. Taqwa
2. Pekerjaan
3. Harta
4. Merdeka
5. Nasab
Jumhur
1. Agama
2. Nasab
3. Pekerjaan
4. merdeka
5. Harta




Pensyaratan Kafa’ah
 Syarat kelaziman/ sah (ulama’ mutaakhirin syarat sah di beberapa kondisi, dan syarat lazim dalam beberapa kondisi yang lain)
syarat lazim bukan syarat sah
Syarat lazim bukan syarat sah
Syarat lazim bukan syarat sah
Syarat lazim bukan syarat sah

3.2. SARAN
1. Bagi para pemuda khususnya para pemudi yang hendak menikah, memperhatikan masalah kafa’ah ini. Meskipun Allah Ta’ala  tidak melihat seseorang dari dhahirnya, tapi demi kemaslahatan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga serta agar tercipta sebuah keluarga yang  Sakinah, mawaddah, wa Rahmah.  
2. Bagi para wali meskipun para Ulama’ telah menetapkan barometer kafa’ah dalam pernikahan, hendaknya tidak mempersulit anak-anaknya yang hendak menyempurnakan    separuh agamanya. Waallahu A’lam Bish showab
3.2. PENUTUP
Pada akhir penutupan ini tak ada kata yang pantas saya ucapkan selain rasa syukur kepada Rabb semesta Alam. Atas kehendak-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya pribadi sangat berharap saran dan kritik yang membangun sebagai penyempurna makalah yang saya buat ini. Tak lupa saya ucapkan Jazakumullah Khairan Katsiran bagi siapa saja yang berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini sebagai ladang amal kebaikan kita kelak di Akhirat. Wallahu A'lam bishshowab.






















REFERENSI
Al Qur’anul Karim,
Abbas Shahabuddin Ahmad bin Idris al Qarafi, Abu, ad Dakhirotu lil Qarafi, cet-1, (Beirut: Darul Muslim, 1994 M), Juz 4
Abdillah Muhammad bin Isma’il al Bukhari, Abu, Shahih Bukhari, (Riyadh: Daar As-Salam), Juz 3
Abu bin Mahmala Syafi’i, Al Hasan, al Bab Fie Fiqhi Syafi’i,cet-1, (Madinah: Daar Al-Bukhari, 1416 H), Juz 1
            Al Jazari, Abdurrahman,  Fiqh ‘Ala madzaahib al Arba’ah, cet-5, ( Libanon : Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 1435H)
Aziz Dahlan, Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam pdf
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu terj Abdul Hayyie al-Kattani dkk, cet-1, (Jakarta: Gema Insani, 2011M) jld.9
Az-Zuhaili, Wahbah, Mausu’ah Al Fiqh Al Islami Wa Qadhaya AlMu’ashiroh, cet-3, (Beirut: Darul Fikr, 2013M), jld.8
 Bin Ahmad bin Abi’Isy Sarkhasi, Muhammad, Al Mabshuut, (Beirut: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 1414 H), Juz 5
Bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Abdullah, al Kafii fie Fiqh Imam Ahmad, cet-1,(Beirut- Libanon: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1414 H), Juz 3
            Bin Hajjaj an-Naisaburi, Muslim, Shahih Muslim,cet-7, (Beirut: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 2015M)
Bin Hanbal, Ahmad,  Al Musnad, cet-1, (Libanon: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 2008M), jld 5
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Midnes Surya Grafindo, 1998 M)     
Katsir, Ibnu, Mukhtasor Tafsir bnu Katsir (mukhtasor wa tahqiq) Ali ash-Shobuny,cet-7, (Beirut-Libanon: Daar al Qur’an al Karim, 1402 H), juz 2
Mandzur, Ibnu, Lisanul Arab, ( Beirut- Libanon: Daar ash-Shodiir, 711H)
Muhammad bin Qudamah, Abu, al mughni li ibnu Qudamah, cet-1,(Beirut-Libanon: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 1414 H), juz 7
Sabiq, Sayyid, Shahih Fiqih Sunnah, cet-1, (Qohiroh: Darul Fath, 1421H), jld 2








[1] Ibnu Mandzur, lisanul Arab, (Beirut-Libanon: Daar ash-Shodir, 711 H), Juz 3, hlm 117.
[2] Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu  terj Abdul Hayyie al-Kattani dkk, cet-1, (Jakarta: Gema Insani, 2011 M), jild 9, hlm 213.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet-1, (Qohiroh: Darul Fath, 1421 H), jild 2, hlm 93-94
[4] Abdurrahman Al-Jazari, Fiqh A’la madzaahib al Arba’ah, Cet-5, ( Libanon: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1435 H), jild 4, hlm. 53
[5] Ibid.... hlm. 56
[6] Ibid.... hlm. 57
[7] Ibid.... hlm 58
[8] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT Midnes Surya Grafindo, 1988) hal 167
[9] Sayyid Sabiq, Al Fiqh As-Sunnah......., jild. 2
[10] HR. Bukhori no. 5090/ Muslim no. 1466
[11] Sayyid Sabiq, Shahih Fiqih Sunnah......., jild 2, hlm 94
[12] Wahbah Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al- Islami Wal Qadhaya Al Mu’ashiroh, Cet-3, (Beirut: Darul Fikr, 2013 M), jld 8, hlm. 228
[13] HR. Ahmad,  Musnad Imam Ahmad, Cet-1, (Libanon: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 2008 M) jld 5, hlm. 411
[14] Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuh .......,  jld 9, hlm. 222
[15] ibid
[16]  Al Baihaqy, As-Sunnah As-Syaqy, jld 2, hlm 22
[17] Wahbah Zuhaili, Fiqih islam wa adillatuh......., jld 9, hlm.218
[18] Wahbah Zuhaili, Mausu’ah Al Fiqhu Al Islami......., jild 8, hlm. 232
[19]. Wahbah Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqhi Al-Islami......., jild 8, hlm. 233
[20] Imam sarkhasi, Al Mabshuth, (Beirut: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 1414 H), juz 5, hlm.55
[21] Al Hasan  Abu bin Mahmala Syafi’i, Al Bab Fie Fiqhi Syafi’i, cet-1, (Madinah: Daar Al Bukhari, 1416 ), Juz 1, hlm.303
[22] Ahmad bin Idris al Qarafi, Ad-Dakhirotu lil Qarafie, cet-1, (Beirut: Darul Muslim, 1994 M), juz 4, hlm.211
[23] Ibnu Qudamah, Al Kafi Fie Fiqh Imam Ahmad,cet-1, (Beirut-Libanon: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, 1414 H), juz 3, hlm. 21
[24] Ibnu Katsir, Mukhtasor tafsi Ibnu Katsir (mukhtasor wa tahqiq) Ali ash-shobuny, cet-7, (Beirut-Libanon: Dar al Qur’an al-Karim, 1402 H) juz 2, hlm.582
[25] Imam Ahmad, al Musnad.......,juz 7, hlm. 474
[26] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah.....hlm 239
[27] Sarkhasi, Al Mabshut......., juz 5, hlm.22
[28] Mahmala, Al Bab Fii Fiqhi as-Syafi’.......i, juz 1, hlm. 303
[29] Ibnu Qudamah, Al Mughni....... juz 7, hlm.35
[30] Wahbah az –Zuhaili, Musu’ah..... 240
[31] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah.....hlm. 240
[32] Ibid, hlm. 241
[33] Hadits ini tidak diketahui sanadnya dan Abu Hatim mengatakan kemungkarannya.
[34] Wahbah az-Zuhaili, mausu’ah....... hlm. 241
[35] Abdul Karim Zaidan, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah......., hlm. 334
[36] Muhammad bin Isma’il al Bukhari, Shahih Bukhari,(Riyadh: Daar As-Salam), juz 3, hlm 147
[37] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah.......juz 8, hlm. 239
[38] Ibid, hlm. 242
[39] ibid
[40] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuh.......juz 9 hlm. 6754
[41] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah....... juz 8, hlm 243
[42] Abdurrahman al-Jazairi, al Fiqh ‘Ala madzahib al Arba’ah......., hlm.54
[43] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah....... juz 8, hlm. 243
[44] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam pdf,  hlm. 846
[45] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih islam wa adillatuh......., juz 9, hlm. 6754-6755
[46] ibid
[47] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah.......juz 8, hlm. 244
[48] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah....., jld 3, hlm. 37
[49] H. S. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), hlm. 105
[50] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.......,  jld 3, hlm.38

_Resolusi_

     Menjelang akhir tahun ini setiap orang pasti memiliki resolusi, ya memang resolusi ini dianggap penting apalagi pada moment-moment saat...