Pada masa Dinasti Umayah
memegang tampuk kekuasaan Khilafah Islamiyah, ada dua kota yang menjadi pusat (markaz) peradaban
Islam, yaitu Bashrah dan Kufah. Hingga datangya kekuasaan Bani Abbas, dua kota tersebut tetap
rnenjadi pusat kehidupan kebudayaan di seluruh dunia Islam,
Setelah para penguasa Daulah
'Ab-basiyah membangun kota Baghdad,
pusat kebudayaan Islam pindah dari Bashrah dan Kufah ke kota yang baru tersebut. Sejak saat itu Baghdad menjadi pusat
kekhalifahan di samping menjadi mercusuar kegiatan ilmiah dan peradaban. Kaum
cendekiawan dan para ilmuwan dari berbagai penjuru dunia banyak yang datang ke Baghdad untuk mengabdikan
dirinya dalam dunia ilmiah, baik dalam rangka melakukan riset, melaksanakan
proyek terjemahan yang memang sedang berkembang pesat, maupun kegiatan ilmiah
lainnya. Sehingga praktis, Baghdad
menjadi pusat peradaban dunia.
Dalam suasana kehidupan
politik dan pemikiran yang berkembang pesat itu, lahirlah sosok filosof Arab
atau filosof Muslim Pertama dalam sejarah pemikiran Islam. Dialah Ya'qub ibn
Ishaq AI-Kindi.
Riwayat Hidup
Abu Yusuf Yakub ibn Ishaq
ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Mu ibn al-Asy'ats ibn Qais al-Kindi, atau lebih
populer dengan sebutan AI-Kindi adalah filosof Muslim pertama.
Ia lahir di Kufah sekitar
185 H (801 M) dari keluarga berada dan terpelajar. Kakek buyutnya, al-Asy'ats
ibn Qais adalah salah seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa'ad ibn Abi
Waqash dalam peperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di Irak. Sedangkan
ayahnya, Ishaq bin al-Shabbah adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan
AI-Mahdi (775-785 M) dan AI-Rasyid (786-809 M). Sekalipun sang Gubernur sibuk
dengan kegiatan-kegiatan politiknya, ia memberi perhatian penuh terhadap
pendidikan putra tersayangnya, dan dengan kekayaan yang dimiliknya ia
memberikan fasilitas dan sekolah yang terbaik bagi putranya.
AI-Kindi memulai perjalanan
intelektualnya dari tanah kelahirannya sendiri, yaitu Kufah, kemudian
melanjutkan pendidikannya kc Bashrah, yang pada saat itu merupakan pusat
kegiatan ilrnu pengetahuan dan tempat utama gerakan pemikiran dan filsafat. Di
Bashrah ia mempelajari ilmu-ilmu keagamaan, matematika dan filsafat. Tetapi
tampaknya ia begitu tertarik kepada filsafat dan ilmu pengetahuan, sehingga
setelah ia pindah ke Baghdad
ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan filsafat.
Sejarah mencatat. AI-Kindi
mengalami lima
masa pernerintahan Daulah Abbasiyah - Al-Amin (809-813 M); Al-Ma'mun (813-833
M); Al-Mu'tashim (833-842 M); Al-Watsiq (842-847 M); dan Al-Mutawakkil (-861 M)
- suatu masa kejayaan Dinasti Abbasiyah dan berkernbang pesatnya khazanah
intelektual.
Di Baghdad - pusat
pemerintahan Daulah Abbasiyah - inilah ketajaman intelektualnya semakin terasah
dan karir intelektualnya pun berkembang pesat. Hal ini bermula dari
perkenalannya dengan Al-Ma'mun, khalifah pada masa itu yang sedang
rnenggalakkan kegiatan-kegiatan ilmiah berupa pengkajian ilmu pengetahuan, dan
yang paling monumental adalah proyek penerjemahan secara besar-besaran di bawah
naungan sebuah lembaga yang disebut dengan "Bayt al-Hikmah" (Pustaka
Kebijaksanaan). Khalifah meminta AI-Kindi untuk terlibat aktif dalam lembaga
tersebut, baik sebagai tenaga edukatif, maupun sebagai peneliti dan penerjemah.
Bahkan ia diminta menjadi guru pribadi Ahmad, putra AI-Mu'tashim.
Tampaknya, AI-Kindi sangat
menikrnati suasana intelektual pada saat itu. la menerjemahkan beberapa karya
dan merevisi terjemahan orang lain, seperti teologi Aristoteles. Hal ini
dimungkinkan karena Al-Kindi menguasai ajaran-ajaran Persia, Yunani, dan India,
serta ia juga fasih berbahasa Ibrani, Yunani, dan Arab. Untuk
mengalih-bahasakan istilah-istilah filosofis dan ilmiah tertentu yang ia
temukan dalam karya-karya asing, ia menciptakan beberapa kata baru dalam bahasa
Arab, seperti jirm untuk tubuh, thinah untuk materi, al-tawahum untuk
irnajinasi, dan lain-lain.
Karena wawasannya yang luas
tentang berbagai jenis ilmu pengetahuan, juga karena ia seorang Arab yang
beragama Islam, dan tidak seperti orang lain yang memperoleh ilmu pengetahuan
lewat karya-karya terjemahan, maka ia layak disebut sebagai "Filosof
Arab" atau "Filosof Muslim" pertama.
Corak filsafat AI-Kindi
tidak banyak diketahui karena buku-bukunya tentang filsafat banyak yang hilang.
Baru pada zaman belakangan orang menemukan kurang lebih 20 risalah Al-Kindi
dalam tulisan tangan. Mereka yang berminat besar menelaah filsafat Islam, baik
kaum orientals maupun orang-orang Arab sendiri, telah menerbitkan
risalah-risalah tersebut. Dengan demikian, orang mudah menemukan kejelasan
mengenai posisi Al-Kindi dan paham filsafatnya.
Filsafatnya
1. Talfiq
AI-Kindi adalah orang
pertama yang merintis jalan menuju keterpaduan (talfiq) dan kesesuaian antara
filsafat (yang berasal dari Yunani) dan prinsip-prinsip ajaran agarna (Islam),
sehingga melahirkan filsafat Islam.
Filsafat berlandaskan akal
pikiran, sedang agama berlandaskan wahyu. Logika merupakan metode filsafat;
sedangkan iman, yang merupakan kepercayaan kepada hakekat-hakekat yang
disebutkan dalam Al-Quran, merupakan jalan agama.
Menurut AI-Kindi, filsafat
adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Quran yang membawa
argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan
dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Bertemunya agama dan filsafat dalam
kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya.
Dengan demikian, menurut
AI-Kindi: orang yang menolak filsafat berarti mengingkari kebenaran. la
mengibaratkan orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang
yang memperdagangkan agama, dan orang itu pada hakekatnya tidak lagi beragama
karena ia telah menjual agamanya. "Siapa yang memperdagangkan agama
berarti ia bukan orang beragama. Orang yang mengingkari usaha mengetahui
hakekat sesuatu berhak untuk membebaskannya dari agama, sehingga ia disebut
sebagai orang kafir". tegas al-Kindi.
Meskipun AI-Kindi berusaha
memadukan antara filsafat dan agama, bukan berarti ia rnenafikan adanya
perbedaan antara keduanya. Dalam karyanya Kamiyyah Kutub Aristoteles, AI-Kindi
memaparkan tiga perbedaan mendasar antara filsafat dan agama sebagai berikut:
1. Filsafat termasuk ilmu
humaniora
yang dicapai filsuf dengan
berpikir dan belajar. Sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati
tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, melainkan
diterirna secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
2. Jawaban filsafat
menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan berpikir atau perenungan
Sedangkan agarna lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al Quran memberi Jawaban
secara pasti dan meyakinkan dengan mutlak.
3. Filsafat menggunakan
metode: logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan (pendekatan
Imany).
Jadi, AI-Kindi adalah
filosof Muslim pertama yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. la melicinkan
jalan bagi AI-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. la memberikan dua pandangan
berbeda. Pertama, mengikuti jalur ahli logika, dan memilsafatkan agama, dan
kedua, memandang agama sebagai sebuah ilmu ilahiah, dan menempatkannya di atas
filsafat. Ilmu ilahiah ini diketahui lewat jalur para nabi. Tetapi melalui
penafsiran filosofis: agama rnenjadi selaras dengan filsafat.
2. Fisika
Dalam menguraikan
pcrsoalan-persoalan fisika, AI-Kindi merujuk kepada dua filosof besar, yaitu
Aristoteles dan Plato. Dalam beberapa risalahnya tentang fisika, terlihat jelas
corak Aristoteles dan Platonisme mewarnai cara berpikirnya. AI-Kindi mengikuti
cara berpikir kedua filosof tersebut dengan jalan memilih dan menggabungkannya.
Mengenai alam. AI-Kindi
berpendapat bahwa alam ini mempunyai 'illat ula (the First Cause), yaitu Tuhan.
Tuhan, menurut AI-Kindi, menjadikan alam dari tiada menjadi ada (creatio ex
nihiio). Tuhan tidak hanya menjadikan alam, tetapi jugn mengendalikan dan
mengaturnya, serta menjadikan sebagiannya menjadi sebab bagi sebagian yang
lain. Dengan demikian alam yang awalnya tidak ada menjadi ada, tidak dapat
dikatakan qadim menurut Al-Kindi.
AI-Kindi juga menyebutkan
bahwa di dalam alarn ini terdapat bermacam-macam gerak, antara lain gerak
kejadian. Adapun sebab (Ulat) gerak, yaitu apabila terhimpun empat sebab
sebagaimana disebutkan oleh Aristoteles, yaitu; 1) sebab unsur (iliat
unshuriyyah; material cause), 2) sebab bentuk (itlat shuriyyah; form cause). 3)
sebab pencipta (iliat fa'ilah; moving cause), baik yang bersifat dekat maupun
jauh, 4) sebab tujuan (iliat ghayah; final cause).
Tentang baharunya alam,
AI-Kindi berbeda pandangan dengan Aristoteles. Jika Aristoteles tidak
mernbenarkan bahwa alam itu tercipta dari tidak ada sama sekali menjadi ada,
karena hal ini mengharuskan adanya sesuatu sebagai tempat berlangsungnya gerak,
maka AI-Kindi mengatakan bahwa penciptaan (ibda', kejadian dari tidak ada sama
sekali) bagi benda bersamaan dengan geraknya.
3. Metafisika
Dalam beberapa risalahnya,
antara lain risalah yang berjudul Fi al-Falsafah al-Ula (tentang Filsafat
Pertama), dan Fi Wah-daniyatillah wa Tanahi Jirm al- 'Alam (tentang Keesaan
Tuhan dan Berakhirnya Benda-benda Alam), Al-Kindi rnenguraikan panjang lebar
tentang persoalan metafisika. Pembicaraan dalam soal ini meliputi hakekat
Tuhan, wujud Tuhan dan sifat-sifat Tuhan.
Berbicara masalah ketuhanan,
bagi Al-Kindi, Tuhan adalah wujud yang sempurna, wujud yang haq (benar) dan
tidak didahului oleh wujud lain. Wujud Tuhan tidak berakhir, sedangkan wujud
lain disebabkan oleh wujud-Nya. Tuhan adalah Maha esa yang tidak dapat
dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala hal.
Tuhan hanya satu dan tidak
ada yang serupa dengan Tuhan. Ia adalah al-Haq al-Awwal dan al-Haq al-Wahid. Ia
semata-mata satu. Hanya Ia-lah yang satu, selain dari Tuhan mengandung arti
banyak, Pendapat AI-Kindi yang memandang pembahasan mengenai Tuhan sebagai
bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya, sama dengan pendapat
Aristoteles dalam bukunya Metaphysica, yang di kalangan ilmuwan Arab disebut
Kitab al-Huruf. Perbedaan yang sangat mendasar antara pendapat AI-Kindi dan
Aristoteles tentang Tuhan adalah, jika Aristoteles menyebut Tuhan sebagai
"Penggerak Yang Tidak Bergerak" (Unmovable Mover), sementara Al-Kindi
menyebut Tuhan sebagai "Pencipta Yang Menguasai segala ciptaan-Nya",
bukan Penggerak Pertama sebagaimana pendapat Aristoteles.
Karenanya pula, Tuhan
bersifat azali, yaitu Zat yang sama sekali tidak bisa dikatakan pernah tidak
ada, atau tergantung pada "Sebab", melainkan Zat yang ada dan
wujud-Nya tidak tergantung pada lain-Nya,
Kesimpulannya ialah bahwa
Tuhan adalah Sebab Pertama (The First Cause), di mana wujud-Nya bukan karena
sobab yang lain, la adalah Zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan. la
adalah Zat yang menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan.
4. Jiwa dan Akal
Menurut Al-Kindi, jiwa tidak
tersusun, namun mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi jiwa
berasal dari Tuhan. Hubungan jiwa dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, llahiah, terpisah dan berbeda
dari tubuh. Jiwa atau ruh tidak pernah tidur, hanya saja ketika tubuh tertidur,
ia tidak menggunakan indera-inderanya. Dan bila disucikan, ruh dapat melihat
mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara dengan ruh-ruh lain yang
telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka.
Argumen yang dikemukakan
AI-Kindi tentang perbedaan ruh dengan badan adalah bahwa ruh menentang
keinginan hawa nafsu dan sifat pemarah. Dengan demikian jelas bahwa yang
melarang tidak sama dengan yang dilarang, Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia
lebih dekat kepada pemikiran Plato daripada Aristoteles. Aristoteles mengatakan
bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa tinggal
tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan esensial, dan kemusnahan badan
membawa pada kemusnahan jiwa.
Sedangkan Plato berpendapat
bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer.
Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa, Namun demikian, Al-Kindi
tidak setuju dengan pendapat Plato bahwa jiwa berasal dari alam ide. Lebih
jauh, AI-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: 1) daya
bernafsu (appetative faculty); 2) daya pemarah (irascible faculty); 3) daya
berpikir (cognitive faculty). Daya yang ketiga (daya berpikir) inilah yang
disebut dengan akal.
Jiwa atau ruh selama berada
dalam badan tidak akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya
tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan, ruh akan memperoleh
kesenangan yang hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah dengan
badan, ruh pergi ke Alam Kebenran atau Alam Akal di atas bintang-bintang, di
dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat "melihat"
Tuhan. Di sinilah letak kesenangan abadi dari ruh.
Di sini terlihat bahwa
AI-Kindi tidak percaya pada kekekalan hukum terhadap jiwa, tetapi meyakini
bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke Alam Akal.
Kendatipun bagi AI-Kindi jiwa adalah qadim, namun kegaoYmannya berbeda dengan
qaoYmnya Tuhan. Qa-dimnya jiwa karena diqaoYmkan oleh Tuhan.
5. Moral
Filsafat moral AI-Kindi
dipengaruhi oleh tradisi Stoa (hidup bahagia). Inti dari filosofi Sfoa adalah
etik. Maksud etik adalah mencari dasar-dasar umum untuk bertindak dan hidup
yang tepat. Kemudian melaksanakan dasar-dasar itu dalam kehidupan. Kaum Sfoa
berpendapat, bahwa tujuan hidup yang tertinggi adalah memperoleh "harta
yang terbesar nilainya", yaitu kesenangan hidup atau kebahagiaan hidup.
Kemerdekaan moral seseorang adalah dasar segala etik kaum Sfoa.
Menurut Al-Kindi, filsafat
harus mem-perdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filosof
wajib rnenempuh hidup susila. Manusia harus menjauhkan diri dari keserakahan.
AI-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama (tijarat bi al-din)
untuk tnemperkaya dirinya. AI-Kindi memuji Socrates sebagai contoh zahid
(asket). Sebagai filosof, AI-Kindi khawatir, kalau-kalau syariat kurang
menjamin perkembangan kepribadian seseorang secara wajar, karena itu ia
menawarkan akhlak, sebagaimana dilakukan oleh kaum Stoa dan Socrates, sebagai
sarana untuk meraih kebahagiaan hidup.
Karya-karyanya
Al-Kindi adalah salah
seorang filosof Muslim yang produktif dalam menghasilkan berbagai macam karya
ilmiah. Diperkirakan karya yang pernah ditulis Al-Kindi dalam bcrbagai bidang
tidak kurang dari 270 buah. Karyanya dalam bidang filsafat antara lain:
1. Kitab al-Kindi ila
al-Mu 'tashim Biilah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertarna);
2. Risalat al-Kindi fi
Hudud al-Asyya' wa Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya);
3. Risalat al-Kindi ila
'AH ibn al-Jahm fi Wahdaniyatiliah wa Tanahi Jirm al-'Alam (tentang keesaan
Allah dan berakhirnya benda-benda Alam)
4. Kitab al-Falsafah
al-Dakhilat- wa al-Masail al-Manthiqiyyah wa al-Muq-tashah wa ma Fawqa
al-Thabi'iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika
dan muskil, serta metafisika);
5. Kitab fi Annahu la
Tanalu al-Falsafah ilia bi 'llmi a!-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat
dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan
matematika);
6. Kitab fi Qashd
Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud Aristoteles dalam
kategori-kategorinya)
7. Kitab fi Ma 'iyyah al-
'llm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu pengetahuan
dan klasifikasinya);
8. Risalah fi Annahu
Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan);
9. Kitab fi Ibarah
a!-Jawami' ai-Fikhyah (tentang ungkapan-ungkapan me-
ngenai ide-ide
komprehensif);
10. Risaiah fi al-lbanah
an al-lilat al-Fa'iiat ai-Qaribah II al-Kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan
mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan);
11. Risalah al-Hikmiyyah
fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tulisan filosofis tentang rahasia-rahasia
spiritual).
Penutup
Ketika Dinasti Abbasiyah
diperintah oleh AI-Mutawakkil, mazhab Asy'ariyah dijadikan sebagai mazhab resmi
negara. Suasana ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok yang anti filsafat.
Atas hasutan Ahmad dan Muhammad, dua bersaudara putra. Musa ibn Syakir,
AI-Mutawakkil memerintahkan agar Al-Kindi didera dan perpustakaannya yang
bernama "Kin-diyah" disita. Tetapi tidak lama kemudian
perpustakaannya dikembalikan kepada pemiliknya.
Menjelang akhir abad ke-19
M, sang "filosof dari Arab" ini meninggal dunia. Mengenai kepastian
tahun wafatnya, ada beberapa informasi yang berbeda. Louis Massignon mengatakan
bahwa Al-Kindi wafat sekitar 246 H (860 M). C. Nallino menduga tahun 260 H (873
M), dan T.J. de Boer menyebut 257 H (870 M}. Adapun Musthafa Abd al-Raziq
(mantan Rektor Al-Azhar) mengatakan tahun 252 H (866 M). dan Yaqut al-Himawi
menyebutkan setelah berusia 80 tahun atau Icbih sedikit.
* Penulis adalah Peminat
Kalian Fiisafal Islam, Alumnus UIN Syarit Hidayatullah, Jakarta. Didi Junaedi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar