A.
Pengertian Musytarak Wa Dilalatuhu
Kata musytarak berasal dari kata syaraka kata
yang bermakna berserikat, bersekutu, dan bercampur. Musytarak disini menurut
DR. Zain bin Ali bin Mahdi Maharisy dalam kitabnya “shuwarul musytarak allafdzi
fil qur’anil karim wa atsaruhu fil ma’na” adalah satu lafadz yang memiliki
banyak arti yang berbeda dan tidak ada hubungannya satu sama lain. Dari sini
bisa dipahami bahwa musytarak dalam al-qur’an adalah setiap kata yang ada dalam
al-qur’an yang memiliki banyak makna yang beragam, dan antara makna yang ada
itu tidak ada hubungannya.
Umumnya ulama ushul, menempatkan lafadz
Musytarak ini pada kelompok al-khash dan al-‘am yaitu dilihat dari segi
penetapan-penetapan lafadz bagi suatu makna. Adapun yang dimaksud dengan lafadz
musytarak sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Zahra[1] adalah:
اَلْمُشْتَرَكُ هُوَالَلفْظُ الَّذِى يَدُلُّ عَلَى
مَعْنَيَيْنِ اَوْ اَكْثَرَ بِوَ ضْعِ مُخْتَلِفِ
Artinya : “ Musytarak ialah suatu lafadz yang
menunjukkan kepada pengertian ganda atau lebih
dengan penggunaan berbeda”.
Lafadz disebut isytirak disyaratkan dua hal,
yaitu: terapat beberapa penerapan suatu lafadz dan juga terdapat beberapa pengertian
dari lafadz, sehingga suatu lafadz diterapkan dua kali atau lebih untuk dua
pengertian atau lebih[2].
Contohnya adalah lafadz mata, dimana memiliki
pengertian bahasa yaitu mata yang melihat, mata air, mata-mata, matahari, mata
uang dan yang lainnya. Akan tetapi ketika lafadz mata itu dilafadzkan, maka
tidaklah dimaksudkan keseluruhan pengertian tersebut, akan tetapi yang dimaksud
adalah salah satunya.[3]
B.
Penyuguhan dan Menganalisa contoh-contoh Musytarak
Apabila di dalam nash syara’ terdapat lafal
yang musytarak ; jika musytarak itu terjadi antara arti secara bahasa dan
istilah syara’, maka yang harus digunakan adlah makna syara’. Jika musytarak
itu terjadi antara dua makna bahasa atau lebih, maka yang harus digunakan
adalah makna salah satunya dengan suatu petunjuk yang dapat menentukannya,
tidak boleh menggunakan kedua atau semua makna musytarak tersebut secara
bersamaan.[4]
Segi makna dari lafal musytarak yaitu lafal
yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam, seperti lafal as sanah
diartikan dengan Hijriyah dan Miladiyah (Masehi), lafal al yad diartikan dengan
tangan kanan dan kiri dan lafal al Qursy yang diartikan dengan sepuluh dan lima
milimat ( nama uang di Mesir ).
Kemusytarakan itu dapat diterapkan pada makna
yang bermacam-macam sebagaimana pembentukan lafal itu yang dibuat untuk makna
yang bermacam-macam. Sedangkan keumuman itu dapat terealisir dengan petunjuk
lafal atas tercakupnya semua satuan yang sesuai dengannya tanpa batas. Dan
kekhususan itu terealisir dengan petunjuk lafal atas satu satuan atau
beberapa stuan yang terbatas yang sesuai
dengannya dan tidak mencakup keseluruhan.
Jadi, lafal musytarak adalah lafal yang dibuat
untuk dua makna atau lebih dengan pembuatan yang bermacam-macam yang dapat
menunjukkan kepada maknanya secara bergantian, artinya dapat menunjukkan arti
ini atau itu. Seperti lafal al’ain yang secara bahasa dapat berarti mata untuk
melihat, mata air, dan mata-mata, lafal al qur-u yang secara bahasa dibuat
untuk makna suci dan haid, lafal as-sunnah (tahun) dan lafal al yad (tangan).
Sebab terjadinya lafal yang musytarak menurut
bahasa itu banyak sekali. Yang paling penting di antaranya adalah perbedaan
suku atau kabilah dalam menggunakan satu lafal untuk makna yang berbeda-beda.
Sebagian suku mengartikan al yad untuk hasta secara keseluruhan, suku lain
mengartikannya dengan lengan bawah sampai telapak tangan, sedangkan suku
lainnya mengartikan dengan telapak tangan saja. Maka para ahli bahasa
menetapkan bahwa al yad dalam bahasa arab adalah lafal yang musytarak antara
tiga makna. Antara lain menetapkan lafal dengan cara memberi makna hakiki,
kemudian digunakan makna selain makna dasarnya, yakni secara majazi, kemudian
populer penggunaan lafal ini dengan makna majazi sampai terlupakan bahwa makna
itu majazi, maka ulama bahasa menetapkan bahwa lafal ini bermakna ini dan itu.
Seperti lafal as-sayyaarah (mobil), ad
darraajah (sepeda) dan lafal al masarrah (kesenangan). Antara lain lafal itu
dibuat untuk satu makna, kemudian lafal itu dibentuk untuk makna dalam istilah
syara’ atau undang-undang. Seperti lafal as shalaat (sembahyang) atau lafal ad
daf’u (penolakan). Apapun sebab terjadinya kemusytarakan makna pada beberapa
lafal menurut bahasa, maka lafal yang memiliki dua arti atau lebih tidak
sedikit terdapat dalam bahasa, dan itu dalam nash syara’, baik Al Qur’an maupun
hadist Rasul. Hal ini, sebagaimana yang telah di jelaskan di bab al Musykil,
adalah selama masih dapat ditemukan alasan yang mengarah untuk memenangkan
salah satu makna, dan wajib bagi mujtahid untuk menghilangkan kemusykilan dan
menentukan makna yang dikandung lafal-lafal itu jikan terdapat dalam nash
syara’.[5]
C.
Dalalah Musytarak
Para ulama ushul menyatakan, bahwa pengertian
isytirak berbeda dengan pengertian asli. Dengan kata lain, suatu lafadz yang
tarik menarik antara kecenderungan isytirak dengan kecenderungan infirad (satu
pengertian), maka yang dominan dalam zhann ialah pengertian infirad, dan
kecenderungan pengertian isytirak pun menjadi tidak kuat. Dengan kata lain,
dengan hilangnya pengertian isytirak, maka terdapat pengertian yang lebih kuat.
Karena itu, bila terdapat didalam Al-Qur’an suatu lafadz yang memiliki
kecenderungan isytirak dan tidak, maka yang diperkuat adalah ketiadaan
isytirak.[6]
Adapun yang menyebabkan kemusykilanterhadap
lafadz nash adalah karena lafadz itu musytarak, yaitu suatu lafadz nash yang
mengandung beberapa arti sedangkan sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada
makna tertentu.
Banyak perbedaan penafsiran yang terjadi
karena perbedaan mereka dalam memahami kata musytarak ini.Misalnya :
Dalam surat Al-Mudatsir : 51 mengenai arti
“Qaswarah”
فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ
Dimaksud disini adalah “ orang yang melempar”
tetapi bisa juga yang dimaksud adalah “singa” juga berarti “suara-suara orang”
juga berarti gelapnya malam.
Seperti halnya yang disebutkan oleh
At-Thabarani mengenai surat An-Nahl : 72
والله جعل لكم من انفسكم ازواجا وجعل لكم من ازواجكم
بنين وحفدة
Kata “Hafadah” memiliki banyak arti
diantaranya adalah pembantu dan penolong, anak-anak bawaan istri dari suaminya
dahulu, juga hubungan kekerabatan karena perkawinan, juga berarti cucu, semua
ini termasuk dalam arti hafadah.
Bahkan musytarak ini juga terkait antara arti
hakiki dan arti majaz, maka sangat diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai
arti kata-kata yang ada dalam al-Qur’an ini sehingga kita mendapatkan pemahaman
yang benar.
Sebagai contoh perbedaan arti hakiki dan majaz
ini adalah kata “Bakhil” dalam surat An-Nisa’ : 37
اَلَّذِى يَبْخَلُوْنَ وَيَأمَرُوْنَ النَاسَ بِاالبُخْلِ
وَيَكْتُمُوْنَ مَا آتَاهُمُ اللّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاَعْتَدْنَا لِلْكاَفِرِيْنَ عَذَابًا
مُهِيْنًا
Artinya : “Orang-orang yang kikir dan menyuruh
orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah
diberikan-Nya kepada mereka dan kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir
siksa yang menghinakan.
Dalam ayat ini makna “Bakhil” adalah bukan
bakhil dalam harta benda, karena agama apapun, kepercayaan apapun, budaya
apapun dahulu kala dan sekarang ini memandang sikap bakhil dalam harta
merupakan perbuatan tercela.
Tetapi bakhil dalam ayat ini berarti majaz
yakni “Bakhil” dalam ilmu, maksudnya adalah bahwa Allah telah memberitahukan
akan adanya Nabi Terakhir yakni Nabi Muhammad SAW. Pemberitahuan ini sudah
disampaikan oleh Allah dalam kitab-kitab mereka, tetapi mereka menyembunyikan
informasi ini sehingga banyak orang tidak mengetahui, sebagaimana dipahami
bahwa orang-orang sebelum islam mendominasi pemahaman kitab hanya oleh para
pendeta dan rahib-rahib saja. Demikian yang dijelaskan oleh Ath-Tabarni dalam
tafsirnya.[7]
KESIMPULAN
musytarak dalam al-qur’an adalah setiap kata
yang ada dalam al-qur’an yang memiliki banyak makna yang beragam, dan antara
makna yang ada itu tidak ada hubungannya.
Umumnya ulama ushul, menempatkan lafadz
Musytarak ini pada kelompok al-khash dan al-‘am yaitu dilihat dari segi
penetapan-penetapan lafadz bagi suatu makna. Adapun yang dimaksud dengan lafadz
musytarak sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Zahra.
Segi makna dari lafal musytarak yaitu lafal
yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam, seperti lafal as sanah
diartikan dengan Hijriyah dan Miladiyah (Masehi), lafal al yad diartikan dengan
tangan kanan dan kiri dan lafal al Qursy yang diartikan dengan sepuluh dan lima
milimat ( nama uang di Mesir ).
Adapun yang menyebabkan kemusykilanterhadap
lafadz nash adalah karena lafadz itu musytarak, yaitu suatu lafadz nash yang
mengandung beberapa arti sedangkan sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada
makna tertentu.
REFERENSI
[1]Zaki al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh
al-Islami, hal 337
[2]Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami jil
I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal 283
[3]Ibid hal 283
[4] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fikih, hal 157
[5] Ibid hal 256
[6] Ibid, Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami jil I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986 ), hal 285
[7]Ibid,
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami jil I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986
), hal 285