BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG MASALAH
Jihad di dalam islam
merupakan salah satu amalan mulia, bahkan memiliki kedudukan paling tinggi.
Sebab dengan amalan ini seorang muslim harus rela mengorbankan segala yang di
milikinya berupa harta, jiwa, tenaga, waktu, dan segala kesenangan dunia untuk menggampai
keridhaan Allah SWT. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam (QS at-Taubah :
111)
karena keutamaan jihad yang begitu
tinggi dan mulia, maka banyak dari para mujahidiin (orang yang melakukan jihad)
dengan berbagai cara, hingga amaliyah
Istisyhadiah pun dilakukan demi meraih keutamaan tersebut. Salah satunya yaitu
dengan cara mengikatkan bahan peledak di tubuh mereka, atau pun ke dalam mobil
mereka yang dipenuhi dengan bahan axplosive, kemudian mereka meledakkan diri di
tengah sekumpulan musuh dengan tujuan memperoleh kesyahidan dan menimbulkan
kerugian dipihak musuh.
Hal itu
berdampak negatif bagi kaum muslimin. Pasalnya jihad seperti ini di indonesia
dianggap sebagai teroris. Hingga islam dicap sebagai radikal. Aktivitas-aktivitas
yang berbau keislaman dituduh radikal sampai-sampai menurut BNPT yang dilansir
di KIBLAT.NET[1]
yaitu mengajarkan anak-anak mengaji dan sholat adalah radikalisasi. Hal ini
sangat meresahkan penduduk negeri indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim
terbesar se-Asia Tenggara.
Aksi ini
menjadi kajian serius seluruh umat manusia, khususnya di kalangan para ulama.
Mereka mulai berfatwa, ada yang pro dan kontra. Dan mereka mempunyai hujjah
tersendiri dalam fatwa-fatwa mereka. Berangkat dari kasus inilah penulis
mencoba memaparkan tentang fatwa-fatwa ulama seputar hukum amaliyah
istisyhadiyah atau yang dikenal sebagai Bom syahid menurut prespektif syar’i. dan
apa saja syarat-syarat bagi pelaku
amaliyah istisyhadiyah yang telah disepakti oleh jumhur ulama’, Agar tidak menimbulkan madhorot yang lebih besar dikalangan umat
islam itu sendiri.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar
belakang masalah diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana hukum amaliyah
istisyhadiyah menurut prespektif syar’i’ ?
2. Apa saja
syarat-syarat amaliyah istisyhadiyah menurut kesepakatan jumhur ulama’?
1.3. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengatahui
hukum amaliyah istisyhadiyah menurut prespektif syar’i’.
2. Untuk mengetahui
syarat-syarat bagi pelaku amaliyah istisyhadiyah.
1.4. MANFAAT PENULISAN
1. Untuk pribadi sebagai
tambahan wawasan keilmuan serta dapat memahami konsep hukum amaliyah
istisyhadiyah menurut prespektif syar’i’.
2. Untuk Ma’had Aly
Hidayaturrahman sebagai sumbangsih kepustakaan dan sebagai salah satu konsep
hukum yang dapat dirujuk..
3. Untuk masyarakat agar
memahami sebuah konsep hukum amaliyah istisyhadiyah menurut prespektif syar’i’.
Dan benar-benar memahami makna sebuah
syarat, yang tidak akan menimbulkan madhorot yang lebih besar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI AMALIYAH
ISYTISHADIYAH
Pengertian Amaliyah
Istisyhadiyah
Secara bahasa
Al ‘Amaliyah berasal dari
kata al’amal, jadi Al’ Amaliyah berarti operasi. Sebagaimana arti
‘aqidatul ’amaliyat yang bermakna doktrin operasi.
Al istisyhadiyah berasal dari
masdar kata istasyhada yang berarti meminta kesyahidan, sedangkan istasyhada
terjadi dari wazan istaf’ala yang berarti meminta sesuatu.[2]
Secara istilah
Secara istilah
‘Amaliyah
Istisyhadiyah atau opersi atau aksi syahid adalah
perbuatan khusus yang dilakukan oleh mujahid, dengan kepastian ataupun dengan
sedikit keraguan itu akan menyebabkan musuh terbunuh dan menderita. Dan dia
dengan pasti ataup ragu bahwa dia akan mendapatkan mati syahid dengan terbunuh
hanya untuk Allah SWT.[3]
2.2. PELAKU AMALIYAH ISTISYHADIYAH PERTAMA DALAM LINTAS SEJARAH
Jika berbicara tentang sejarah istisyhadiyah pertama kali
yang tercatat dalam sejarah, maka dalam benak kita akan muncul tentang kisah
pemuda dalam ash-habul Ukhdud ( para penghuni parit) yang kisahnya diabadikan
dalam (QS : Al- Buruj : 4-7).
Ayat ini berkisah tentang Ashabul Ukhdud (penggali
parit) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim[4]
dan Imam at-Tirmidzi[5]
dari riwayat sahabat Shuhaib ar-Rumy Ra. Rosulullah SWT bercerita tentang Ashabul
Ukhdud, “ Dahul ada seorang raja yang memiliki penasihat seorang ahli
sihir yang ternama. Usianya sudah sangat lanjut. Penyihir tersebuthendak
mencari penerus dan pewaris ilmunya yang kelak akan menggantikan
posisinya sebagai penasihat raja. Hingga didapatlah seorang anak laki-laki yang
sangat cerdas. Sayangnya anak tersebut(gulam) sering berbeda pendapat dan
perangai dengan sang penyihir tersebut. Ditengah jalan antara rumahnya dan
istana, terdapat sebuah gua yang dihuni oleh seorang rahib. Setiap ghlam lewat
tempat tersebut ia selalu bertanya beberapa hal kepada sang rahib. Hingga sang
rahib mengaku bahwa dirinya menyembah Allah dan mengesakannya. Lambat laun
Ghulam lebih suka berlama-lama di tempat rahib untuk belajar dan selalu datang
terlambat ke tempat tukang sihir. Hingga suatu saat kerajaan memerintahkan
menjemput ke rumahnya karena hampir saja ia tidak hadir pada suatu hari. Ghulam
memberi tahu perihal ini kepada rahib. Sang rahib menjawab mencarikan
rasionalisasi: jika penyihir itu bertanya di mana engkau, jawab saja aku ada
dirumahku. Jika keluargamu menanyakan keberadaanmu, maka beri tahu mereka bahwa
aku ada di tempat penyihir. Suatu hari , ketika Ghulam sedang berada di jalan
ia menjumpai sekelompok orang terhenti jalannya karena ada binatang buas(singa)
yang menghalangi mereka. Ghulam segera mengambil batu dan berkata: “ Ya Allah,
jika yang dikatakan sang rahib benar, maka izinkan aku membunuh binatang ini.
Jika pa yang dikatakan sang penyihir yang benar maka izinkan aku membunuh
binatang ini. Jika apa yang dikatakan sang penyihir yang benar, maka aku
meminta supaya engkau menggagalkanku membunuh binatang ini. Kemudian ia lempar
batu tersebut dan binatang itu mati seketika. Orang-orang pun terperanjat
setelah tahu bahwa anak kecil itu yangmembunuhnya. Mereka berkata: anak itu
tahu suatu ilmu yang tidak diketahui oleh orang lain. Hingga didengarlah oleah
seorang pejabat kerajaan yang buta, ia mendatangi ghulam dan berkata: jika
engkau kembalikan penglihatanku maka akan aku beri hadiah ini dan itu. Ghulam
menjawab: Aku tak memerlukan itu dari anda. Jika aku bisa mengambalikan
penglihatanmu, apakah engkau akan beriman kepada Dzat yang mengembalikan
penglihatanmu? Dia menjawab: ya. Maka sang buta tersebut dapat melihat dan
beriman pada Rabb ghulam. Berita ini tersiar sampai ke kerajaan. Hingga sang
raja marah besar dan membunuhi siapa saja yang mengikuti ajaran ghulam. Hingga
ditangkaplah sang rahib dan sang buta yang telah melihat. Mereka berdua dibunuh
dengan kejam, yaitu dibelah badannya dengan gergaji. Ghulam yang ditangkap
akhirnya dibawa ka atas gunung bersama beberapa tentara kerajaan untuk dilempar
dari atas gunung. Namun, tak ada yang selamat dari atas gunung kecuali ghulam,
dan ia pun kembali. Sang raja memerintahkan untuk membawa ghulam ke tangah laut
untuk dibuang disana. Badai pun menyerang mereka. Tak ada yang selamat kecuali
ghulam. Ia pun kembali lagi. Setiap makar yang dibuat untuk membunuhnya selalu
gagal. Akhrinya ghulam berkata kepada sang raja : Engkau tak akan bisa membunuhku kecuali dengan menyalibku
didepan rakyatm, kemudian memanahku sambil berkata “ Bismillahi rabbil ghulam
(dengan nama Allah Tuhan anak kecil ini). Setelah disalib dan sang raja
mengucap kata-kata tersebut dengan keras, panah yang meluncur dari busur sang
raja menancap di tubuh ghulam dan menewaskannya sebagai syahid. Orang-orang di
sekitarnya berkata: ghulam tahu ilmu yang tidak diketahui orang lain, kita
harus beriman kepada Tuhannya. Sang raja murka dan memerintahkan untuk menggali
perit dan menyalakan api. Barang siapa yang tak amu meninggalkan agamanya
(agama ghulam)maka akan dilempar ke dalam parit yang menyala-nyala tersebut.
Hingga ada seorang ibu yang menyusui anaknya sedang ragu-ragu. Sang bayi yang
ada dalam buaiannya pun berkata meyakinkannya : Ibu, bersabarlah. Sesungguhnya
engkau berada dalam pihak yang benar.”
Dari kisah diatas, banyak dari
kalangan muslimin yang memegang dalil ini sebagai syarat diperbolehkannya
melakukan amaliyah istisyhadiyah, sebagaimana yang dilakukan salaf terdahulu.
Namun, hukum tersebut masih mentah dan belum bisa dijadikan rujukan utama
mengenai amaliyah istisyhadiyah tersebut. Karena para ulama’ juga
melihat dari berbagai tinjauan syari’at yang tak lepas dari maslahat dan
madhorotnya.
2.4. HUKUM AMALIYAH
ISTISYHADIYAH MENURUT PRESPEKTIF SYAR’I
Ulama’ Yang Memperbolehkan
1. Imam
Al Jashshos Rahimahullah menukil pernyataan Muhammad bin al-Hasan
as-Syaibany sebagai berikut, “ Sesungguhnya jika seseorang dilemparkan ke dalam
1000 pasukan sendiriran, hal itu tidak mengapa asalkan ia mengharapkan akan
keselamatan dirinya atau kebinasaan musuh. Tetapi jika tidak, maka menurutku
itu makruh baginya. Sebab itu adalah menyediakan diri untuk binasa tanpa
disertai menfaat bagi kaum muslimin. Yang dilarang adalah jika tindakannya itu
tidak mendatangkan kemanfaatan apa-apa.”[6]
2. Syeikh Muhammad Nashiruddin al Bany Rahimahullah
, “ Perbuatan ini tidak termasuk bunuh diri, karena bunuh diri itu adalah
seseorang yang membunuh dirirnya sendiri untuk mengakhiri hidupnya di dunia
ini. Adapun bom istisyhadiyah bukan tindakan bunuh diri, akan tetapi
merupakan jihad fie sabilillah. Namun, di sana ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan yaitu hendaknya operasi ini tidak dilakukan oleh
individualis, akan tetapi hendaknya atas perintah Qo’id (pemimpin)
pasukan. Jika seorang pemimpin merasa membutuhkan pasukan seperti ini dan
melihat bahwa kematian orang tersebut membawa kerugian besar di pihak lain
(musuh), maka pendapatnya wajib ditaati sekalipun orang tersebut tidak ridho,
namun wajib menta’atinya.”[7]
3. Syeikh Hamud bin ‘Uqla’ asy-Syuaibiy Rahimahullah: “ Operasi istisyhadiyah tersebut
merupakan amalan yang masyru’(disyariatkan
di dalam islam). Jika pelakunya memiliki niat yang ikhlas karena Allah SWT. Dan
operasi ini pun termasuk metode yang paling berhasil dalam jihad fie
sabilillah melawan musuh-musuh Dien ini. Karena, dengan wasilah seperti
itu, terjadilah kerugian dan kerusakan dipihak musuh, baik berupa terbunuh atau
terlukanya orang-orang kafir sekaligus memberikan ketakutan pada mereka dan merontokkan
hati-hati mereka, yang semuanya merupakan maslahat-maslahat jihadiyah. Masyruiyyat
operasi-operasi tersebut dibuktikanmdengan dali-dalil dari Al-Qur’an,
as-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan para ulama).[8]
5. Fatwa
Syeikh Yusuf al-Qardhawy, “ Saya ingin katakan, bahwa operasi-operasi ini
termasuk cara yang paling jitu dalam jihad fie sabilillah. Dan itu
termasuk teror yang disyari’atkan dalam Al-Qur’an (QS al-Anfal :60).
Penamaan operasi ini dengan nama
“bunuh diri” adalah keliru dan menyesatkan. Sebab, orang yang bunuh diri itu
membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri. Sementara pejuang ini
mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan ummatnya.
Bahkan Syeikh
al-Qardhawy menguatkan pendapatnya dengan pandangan ulama’ klasik yang juga
memperbolehkan aksi jenis bom syahid. Seperti pandangan Imam al- Jashash, Imam
al-Qurthubi, Imam ar-Razi, Imam Ibnu Katsir, Imam ath-Thabari, Imam Ibnu
Taimiyah, Imam asy-Syaukani, Syeikh Rasyid Ridha, dan yang lainnya.[9]
ULAMA’
YANG TIDAK MEMPERBOLEHKAN
1. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al U’tsaimin Rahimahullah, beliau berkata, “
Diperbolehkan seseorang mencelakakan dirinya untuk kemaslahat kaum muslimin
secara umum, sebagaimana yang dilakukan anak muda dalam kisah Ashabul Ukhdud
karena dengannya manusia beriman kepada Allah dan ia tidak kehilangan apapn
karena ia telah mati, dan pasti akan mati cepat atau lambat.
Adapun perbuatan bunuh diri yang di lakukan
sebagian orang dengan membawa bahan peledak kemudian masuk ke dalam komunitas
orang-orang kafir lalu ia meledakkannya, maka sesungguhnya ini adalah termasuk
bunuh diri dan kita berlindung kepada Allah. Dan barangsiapa yang membunuh
dirinya sendiri ia akan kekal dineraka, sebagaimana yang diterangkan dalam
hadits.
Hal ini disebabkan karena melakukan bunuh
diri bukan untuk kemaslahatan islam. Jika ia melakukan bunuh diri dan bisa
membunuh sepuluh, seratus atau dua ratus orang, hal ini tidak memberi
kemanfaatan terhadap islam . dan manusia tidak masuk islam karenanya, lain
dengan kasus pemuda tadi. Jangan sampai hal ini dijadikan alasan oleh musuh
untuk dapat membunuh lebih banyak kaum muslimin – bahkan ini adalah haram-.
2. Lembaga Perkumpulan Ulama’ Besar Saudi Arabia
mengeluarkan fatwa, intinya adalah bahwa menghalalkan darah, perusak
kehirmatan, perampas harta milik orang tertentu atau orang umum, peledakan di
tempat-tempat hunian, serta di angkutan-angkutan umum, dan perusakan
bangunan-bangunan dan semisalnya adalah haram menurut Syari’at islam
berdasarkan ijma’ (kesepakatan)kaum muslimin. Sebab di dalamnya terdapat
perusakan terhadap kehormatan jiwa-jiwa seorang muslim. Islam mengharamkan
perusakan terhadap semua ini dan sangat menekankan pengharamannya. Bahkan
diantara hal terakhir yang disampaikan oleh Rosulullah SAW kepada umatnya yang
artinya : “ Sesungguhnya darah-darah kalian dan kehormatan kalian haram atas
kalian, seperti haram (mulia)nya hari kalian (hari haji wada’) ini, di abulan
ini dan di negeri (tanah haram) kalian ini.[10]
3. Syeikh
Musthafa as-Sualaimani berkata, “ Semua orang pasti sudah mengetahui sikap Ahlus-Sunnah
wal Jamaah di dalam masalah-masalah seperti ini. Ahlus-Sunnah menegaskan,
bahwa cara-cara seperti itu adalah fitnah sesat dapat menimbulkan malapetaka
dan dapat menghalangi orang dari agama Allah SWT. Kemudharatan yang ditimbulkan
adalah lebih besar daripada faedah yang dihasilkan. Walaupun oknum-oknum
pelakunya berbuat dengan ikhlas semata-mata untuk membela Islam. Betapa banyak
orang-orang yang tidak bersalah ikut terbunuh. Betapa banyak umat Islam yang
menjadi korban kekejian karena telah dianggap kafir. Semua itu dilakukan tanpa
ada rasa takut ataupun segan. Betapa banyak anak-anak dan kaum wanita yang
tidak tahu menahu menjadi korban, akibat ucapan-ucapan yang tidak bertanggung
jawab lagi jauh menyimpang dari pedoman Ahlus- sunnah yang tidak
bertanggung jawab lagi jauh menyimpang dari pedoman Ahus-Sunnah wal Jama’ah di
dalam memahami dalil.”[11]
2.6.
SYARAT-SYARAT MELAKUKAN AMALIYAH ISTISYHADIYAH
1.
Ikhlas semata
karena Allah SWT, bukan karena duniawi.
2.
Hendaknya
melakukan operasi ini untuk menegakkan kalimat Allah SWT dan untuk menolong
Dien-Nya.
3.
Memberikan
ketakutan pada pihak musuh.
4.
Menambah
kekuatan kaum muslimin.
5.
Hendaknya atas
perintah Qoid (pemimpin) tidak melakukannya sendiri.
6.
Memperhatikan
manfaat dan madhorotnya bagi kaum muslimin.
7.
Menjauhi
membunuh anak kecil, wanita dengan sengaja.
8.
Tidak mengapa
menghancurkan bangunan dan sarana-sarana pengambangan kejahatan mereka.
9.
Jangan sampai pihak yang terbunuh dari pihak
kaum muslimin lebih banyak dari pihak musuh. Bahkan ini haram dilakukan.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas dapat
kita simpulkan beberapa point ini :
1. Para jumhur
ulama’ sepakat memperbolehkannya melakukan amaliyah istisyhadiyah bahkan
disyariatkan oleh Allah SWT dalam QS: at-Taubah : 111, meskipun ada beberapa
ulama’ yang tidak memperbolehkan. Namun yang dimaksud tidak diperbolehkan
adalah bunuh diri untuk kepentingan dirinya serta amaliyah istisyhadiyah yang
menyebabkan madhorot yang lebih besar bagi kaum muslimin.
2. Para pelaku
amaliyah istisyhadiyah harus memenuhi syarat-syarat yang telah
disepakati oleh jumhur ulama’ diatas, yang intinya ada 4 point :
a. ikhlas
karena Allah SWT.
b. Memberikan
rasa takut pihak musuh.
c. Menambah
kekuatan kaum muslimin.
d. hendaknya
maslahatnya harus lebih besar dibandingkan dengan madhorotnya.
3.2. SARAN
1. Setelah
kita mengetahui hukum diperbolehkannya melakukan amaliyah istisyhadiyah,
Maka tidak selayaknya amalan tersebut dilakukan hanya mengharapkan kesyahidan
saja, melainkan memberikan fidah bagi kaum muslimin dan mujahidin.
2. Bagi yang
ingin melakukan amaliyah istisyhadiyah ini diharapkan harus memenuhi
syarat-syarat yang telah disepakati para ulama tersebut, dan sudah seyogyanya
kita lebih berhati-hati lagi, dalam
melakukan tindakan yang menyebabkan timbulnya dampak negative yang lebih besar
yang akan mengenai saudara sesama muslim.
3.3. PENUTUP
Pada akhir penutupan ini tak ada kata
yang pantas saya ucapkan selain rasa syukur kepada Rabb semesta Alam. Atas
kehendak-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya pribadi sangat berharap
saran dan kritik yang membangun sebagai penyempurna makalah yang saya buat ini.
Tak lupa saya ucapkan Jazakumullah Khairan Katsiran bagi siapa saja yang
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini sebagai ladang
amal kebaikan kita kelak di Akhirat. Wallahu A'lam bishshowab.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shobabuthy,
Ishom, dkk, Shahih muslim bi syarhi an-Nawawy, Cet 3,(Kairo: Darul
hadits, 1998), jld. 9, cet.3, hlm.
357-359
Bakar al Jashshosh, Abu, Ahkamul Qur`an, cet 1, ( Beirut: Darul Fikr, 2001), Jld 3,
hlm. 262-263
Fachry, M,
In The Heart Of Al- Qaida, cet-1,
( Ar-Rahmah Media : Jak-sel) , 2008, hlm. 173
Fatawa
An-Nadiyah lil-‘Amaliyyat al-Istisyhadiyah, cet. Ke -2.
Hamud bin ‘Uqla asy-Syuaibi, Muhammad, dkk,
Wasiat Para Syuhada’ WTC, ( Klaten: Kafayeh Cipta Media, 2007), hlm. 10-11.
Hasan Musthafa bin ismail as-Sulaimani al-Mishri,
Abul, Silsilah al-Fatawa asy-Syariyyah,
cet. 1, (Pustaka at-Tibyan, 2000 M), hlm. 98-98
http://diarysangterroris.blogspot.co.id/2009/07/istisyadiyahistimata-dalam-islam.html at 14:36 pm 13 mei 2016.
http://www.kiblat.net/2015/06/11/bnpt-mengajarkan-anak-anak-mengaji-dan-salat-adalah-radikalisasi/
Kamis, 11 Juni 2015 18:36 WIB
https://errozzelharb.wordpress.com/2011/01/21/amaliyah-istisyhadiyah-operasi-mencari-syahid-menurut-tinjauan-syar%E2%80%99i/,
I’sa Muhammad bin I’sa bin Saurah, Abi, Sunan
at-Tirmidzi, Cet 1, (Beirut: Darul Fikr, 2009), jld. 5, hlm. 223-225.
Qordhowi,
Yusuf, Fatawa Mu’ashirah, Cet.1,
(Kairo: Darul Qalam), jld. 3, hlm. 503-505
[1] http://www.kiblat.net/2015/06/11/bnpt-mengajarkan-anak-anak-mengaji-dan-salat-adalah-radikalisasi/
Kamis, 11 Juni 2015
18:36 WIB
[2] http://diarysangterroris.blogspot.co.id/2009/07/istisyadiyahistimata-dalam-islam.html at
14:36 pm 13 mei 2016.
[4] Ishom as-Shobabuthy, dkk, Shahih muslim bi syarhi an-Nawawy, Cet 3,(Kairo:
Darul hadits, 1998), jld. 9, cet.3, hlm.
357-359
[5] Abi I’sa Muhammad bin I’sa bin Saurah, Sunan
at-Tirmidzi, Cet 1, (Beirut: Darul Fikr, 2009), jld. 5, hlm. 223-225.
[6] Abu Bakar al Jashshosh , Ahkamul
Qur`an, cet 1, ( Beirut: Darul Fikr,
2001), Jld 3, hlm. 262-263
[7] Dalam ceramah beliau, Silsilah…al-Huda wa an-Nur,
kaset no. 134. Lihat dalam Fatawa An-Nadiyah lil-‘Amaliyyat al-Istisyhadiyah,
cet. Ke -2 hal. 5.
[8] Syeikh Muhammad Hamud bin ‘Uqla asy-Syuaibi, dkk, Wasiat Para Syuhada’ WTC,
( Klaten: Kafayeh Cipta Media, 2007), hlm. 10-11.
[9] Yusuf Qordhowi, Fatawa Mu’ashirah, Cet.1,
(Kairo: Darul Qalam), jld. 3, hlm. 503-505
[10] Dalam sebuah booklet yang dikeluarkan dari
markaz al Imam al Bani, yordania tentang
Bayan Ha’iah Kibaril Ulama fii Dzammi al-ghuluw fii at-takfir .
lembaga ini diketuai oleh syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Fatwa tersebut
dikeluarkan 9 bulan sebelum beliau wafat dan dimuat dalam al-Buhuts
al-Islamiyah Edisi 56 Shafar 1420 H setelah beliau wafat. Kemudian disajikan
ulang dan diberi catatan oleh syeikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid
al-Halabi al-Atsari. Lihat majalah as-Sunnah Edisi 12/VII/1424H/20014M dalam
kolom Waqi’una Bermula Dari Pengkafiran, akhirnya peledakan, Hal. 45-50
( diakses dari
https://errozzelharb.wordpress.com/2011/01/21/amaliyah-istisyhadiyah-operasi-mencari-syahid-menurut-tinjauan-syar%E2%80%99i/,
Posted on Januari 21, 2011 at 3:19 am)
[11] Abul Hasan Musthafa bin
ismail as-Sulaimani al-Mishri, Silsilah al-Fatawa asy-Syariyyah, cet. 1, (Pustaka at-Tibyan, 2000 M), hlm.
98-98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar