BAPAK AL-MAQASID AS-SYARI'AH PERTAMA
01/05/2003
Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul
al-Fiqh al-Islamy membuat sebuah terobosan baru mengenai kecenderungan
aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh.[1]
Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqaha
atau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, al-Khin membaginya menjadi lima bagian:
Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan
Syathibiyyah.
Pembagian ini, hemat penulis, merupakan pembagian terbaru di mana thariqah
yang ditempuh Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu
bagian corak aliran yang terpisah dari aliran ushul lainnya. Tidak berlebihan
memang, karena dalam coraknya al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat)
Ushul Fiqh dengan konsep Maqashid al-Syari’ah sehingga produk hukum yang
dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual.
Ada dua nilai penting, hemat penulis, apabila model al-Syathibi ini
dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum. Pertama, dapat
menjembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud
adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep Ilmu Ushul Fiqh
sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenya tajdid
Ushul al-Fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi Ushul Fiqh demi
menghasilkan produk fiqh yang lebih kapabel. Di antara yang paling vokal
menyuarakan konsep ini adalah Hasan al-Turaby dengan bukunya Tajdid Ushul
al-Fiqh—buku ini dinyatakan terlarang dipasarkan.
Meski sesungguhnya penulis kurang sependapat dengan tayyar
al-yasar ini, namun ada hal yang perlu dicatat bahwa apa yang mereka
lontarkan adalah karena ketidakpuasannya dengan produk-produk fiqh para ulama
yang terlalu terpaku pada teks tanpa mengindahkan konteks. Dengan demikian,
produk hukum yang dihasilkan pun menjadi mati, ambigu, bahkan terkadang,
menurut mereka, kurang manusiawi.[2]
Keambiguan ini disebabkan methodologi yang ditempuh terlalu ushuli
kurang memperhatikan Maqashid al-Syari’ah.
Betul, bahwa ulama-ulama Ushul dahulu telah membahas Maqashid
al-Syari’ah ini menjadi salah satu bagian dari ilmu Ushul. Hanya saja, perlu
dicatat, pembahasan al-mutaqaddimin dengan Maqashid al-Syari’ah ini
boleh dikatakan hanya sebagai “lipstik” saja karena pembahasannya yang begitu
singkat dan cenderung kurang mewakili.
Dengan corak methodologi Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya
yang mencoba menggabungkan antara teori-teori Ushul dengan Maqashid al-Syari’ah
akan menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua
kecenderungan di atas. Memisahkan teori-teori Ushul Fiqh dengan Maqashid
al-Syari’ah merupakan kesalahan besar karena tidak semua al-hawadits
al-haditsah atau al-qaadimah dapat diselesaikan dengan Maqashid
al-Syari’ah an.sich, meskipun Thahir bin Asyur dalam bukunya Maqashid
al-Syari’ah al-Islamiyyah secara yakin menjadikan Maqashid al-Syari’ah ini
sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu Ushul Fiqh.[3]
Namun, dalam pandangan penulis, sesungguhnya teori-teori dan kerangka yang
dikemukakan Thahir bin Asyur sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori
Ushul Fiqh itu sendiri hanya dengan format yang berbeda.
Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan
produk hukum yang dalam istilah Ibnu Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqh yang
hidup. Karena itu, fiqh yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan
dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy.
Sedikit penulis mengajak para pembaca untuk bernostalgia ke
Indonesia. Dalam pengamatan penulis, ada kesalahan fatal sikap masyarakat
Indonesia khususnya terhadap fiqh. Ia lebih dipahami sebagai ilmu yang membahas
tentang ritual dan tata cara ibadah an sich, yang terlepas dari
nilai-nilai rububiyyah murni dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini
terlihat misalnya, mereka lebih asyik dengan menempelkan dahi di atas sajadah
daripada memperhatikan tetangganya yang bergelut melawan penyakit yang
menggerogoti tubuhnya yang kurus kering kurang gizi. Mereka lebih merasa
berdosa tidak berdzikir setelah shalat atau makan daging anjing dari pada
berbohong, menipu dan korupsi. Paling tidak, kesalahan ini adalah karena fiqh
dipahami hanya ibadah yang kaitannya antara manusia dan Tuhan saja.
Ada semacam pembatasan pemahaman fiqh di kalangan masyarakat dewasa
ini sehingga lebih mementingakn menghapal syarat sah, syarat wajib, rukun dan
lainnya dari pada efek ibadah itu sendiri. Padahal pada awalnya fiqh mencakup
pula persoalan tauhid dan akhlak seperti yang terdapat dalam Kitab al-Fiqh
al-Akbar karya Imam Abu Hanifah atau Ihya Ulumiddin karya Imam
Ghazali.
Di samping itu, silabus pengajaran fiqh di Indonesia, sepengetahuan
penulis, juga kurang mengarah pada Fiqh Maqashidy. Hampir tidak ada,
hemat penulis, silabus yang khusus membahas tentang Maqashid al-Syari’ah.
Karenanya, tidaklah heran ekses fiqh tidak berpengaruh pada tataran amaliyyah
yaumiyyah, ia lebih pada tataran fardhiyyah syakhsiyyah. Akhirnya,
shalat dan ibadah rajin, korupsi jalan terus. Inilah gambaran bagaiman fiqh itu
mati, ambigu, sangat ushuly tidak hidup dan tidak maqashidy.
Dari paparan di atas jelas, kebutuhan untuk memahami dan
mengkampanyekan Maqashid al-Syari’ah di samping Ushul Fiqh menjadi sangat
penting adanya. Demi menuju ke arah itu, penulis merasa terpanggil untuk
mengungkap sekilas perjalanan Imam Sythibi sebagai Bapak Maqashid al-Syari’ah
Pertama sekaligus sekilas tentang Maqashid al-Syari’ah versi Syathibi.
A. Biografi Singkat Imam Syathibi
Sebelum memaparkan lebih jauh tentang biografi Imam Syathibi, perlu
penulis kemukakan terlebih dahulu bahwa buku yang membahas khusus seputar
perjalanan hidup Imam Syathibi ini—sepengetahuan penulis—ada dua buah yaitu
yang ditahkik oleh Ustadz Muhammad Abu al-Ajfan: al-Ifadaat wa
al-Insyadaat li Syathibi dan Fatawa al-Imam al-Syathibi.[4]
Kemudian muridnya, Ahmad Baba Attanbakaty mencoba mengembangkan lebih jauh
dalam dua karyanya Nailul Ibtihaj dan Kifayatul Muhtaj. Oleh
karena itu, pembahasan kali ini banyak mengacu kepada buku-buku tersebut.
Nama lengkap Imam Syathibi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin
Muhammad Allakhami al-Gharnathi. Ia dilahirkan di Granada pada tahun 730H dan
meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M.[5]
Nama Syathibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran ayahnya di Sativa
(Syathibah=arab), sebuah daerah di sebelah timur Andalusia.[6]
Pada tahun 1247M, keluarga Imam Syathibi mengungsi ke Granada setelah Sativa,
tempat asalnya, jatuh ke tangan raja Spanyol Uraqun setelah keduanya berperang
kurang lebih 9 tahun sejak tahun 1239M.
Granada sendiri awalnya adalah sebuah kota kecil yang terletak di
kaki gunung Syulair yang sangat kental dengan saljunya.[7]
Karena Granada ini kota kecil dan sangat dingin, maka orang-orang muslim saat
itu lebih memilih pindah ke kota Birrah—sebuah kota yang terletek tidak jauh
dari Granada—dari pada tinggal di Granada.
Ketika Imam Syathibi hidup, Granada diperintah oleh Bani Ahmar.[8]
Bani Ahmar sendiri adalah sebutan untuk keturunan dan keluarga Sa’ad bin
Ubadah, salah seorang sahabat Anshar. Sedangkan laqab Ahmar ditujukan
kepada salah seorang rajanya yang bernama Abu Sa’id Muhammad as-Sadis (761-763H)
karena memiliki warna kulit kemerah-merahan. Orang Spanyol menyebut Abu Sa’id
ini dengan al-Barmekho yang dalam bahasa Spanyol berarti warna
jeruk yang kemerah-merahan.[9]
Ketika Bani Ahmar berkuasa, kehidupan masyarakat jauh dari
kehidupan yang islami bahkan mereka dipenuhi dengan berbagai khurafat dan bid’ah.
Kondisi ini semakin parah ketika Muhammad al-Khamis yang bergelar al-Ghany
Billah memegang kekuasaan.[10]
Bukan hanya seringnya terjadi pertumpahan darah dan pemberontakan, akan tetapi
pada masa itu juga setiap ada orang yang menyeru kepada cara beragama yang
sebenarnya malah dituding telah keluar dari agama bahkan acap kali mendapat
hukuman yang sangat berat.
Hampir semua ulama yang hidup pada masa itu adalah orang-orang yang
tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang cukup dan bahkan tidak jarang
meraka yang tidak tahu menahu persoalan agama diangkat oleh raja sebagai dewan
fatwa. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila fatwa-fatwa yang dihasilkan
sangat jauh dari kebenaran.
Imam Syathibi bangkit menentang dan melawan para ulama Granada saat
itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah
serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit
antara Imam Syathibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat dielakkan.
Setiap kali Imam Syathibi berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa
melihat terlebih dahulu kepada nash. Karena itulah, Imam Syathibi
kemudian dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap telah keluar dari agama
yang sebenarnya.
Hal lain yang disoroti Imam Syathibi adalah praktek tasawwuf para
ulama saat itu yang telah menyimpang. Mereka berkumpul malam hari, lalu
berdzikir bersama dengan suara sangat keras kemudian diakhiri dengan tari dan
nyanyi sampai akhir malam. Sebagian dari mereka ada yang memukul-mukul dadanya
bahkan kepalanya sendiri. Imam Syathibi bangkit mengharamkan praktek tersebut
karena dinilai telah menyimpang dari ajaran yang sesugguhnya. Menurut Imam
Syathibi, setiap cara mendekatkan diri yang ditempuh bukan seperti yang
dipraktekkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya adalah bathil dan
terlarang.[11]
Fatwa Syathibi tentang praktek tasawwuf yang menyimpang ini juga
dikuatkan oeh salah seorang ulama ahli tasawwuf saat itu Abul Hasan an-Nawawi.
Ia mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat orang yang mendekatkan diri kepada
Allah Swt dengan jalan yang keluar dari Ilmu Syari’ah, maka janganlah
mendekatinya.[12]
Imam Syathibi juga menyoroti ta’ashub berlebihan yang
dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia saat itu terhadap
madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah
sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat
madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil
yang memerintah dari tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab
resmi negara.[13]
Menurut salah satu riwayat, kecenderungan Hisyam al-Awwal untuk
mengambil madzhab Maliki ini adalah ketika dia bertanya kepada dua orang ulama
yang satu bermadzhab Hanafi serta yang lain bermadzhab Maliki. Hisyam al-Awwal
saat itu bertanya: “Dari mana asalnya Abu Hanifah itu?” Ulama Hanafi menjawab:
“Dari Kufah”. Lalu ia bertanya kembali kepada ulama Maliki: “Dari mana asal
Imam Malik?” Ulama Maliki ini menjawab: “Dari Madinah”. Hisyam lalu berkata:
“Imam yang berasal dari tempat hijrah Rasulullah Saw cukup bagi kami”.[14]
Mulai saat itu, seolah sudah merupakan amar resmi,
masyarakat Andalus memegang kokoh madzhab Maliki. Saking berlebihannya ta’asub
mereka, mereka tidak lagi mengenal bahkan cenderung tidak bersahabat dengan
madzhab-madzhab lainnya terutama madzhab Hanafi sehingga Muhammad Fadhil bin
Asyur melukiskan mereka: “Mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan
al-Muwatha’ Imam Malik”.[15]
Para ulama yang tidak bermadzhab Maliki saat itu tidak pernah lepas
dari cercaan bahkan penyiksaan seperti yang dialami oleh al-Alammah Baqa bin
Mukhlid, seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Imam Syathibi melukiskan ulama
ini sebagai ulama besar yang tidak ada tandingannya saat itu, ia pernah belajar
dari Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan ulama-ulama lainnya yang berada di luar
Andalus. Namun, sayang meninggal karena hukuman dari amir saat itu.[16]
Sekalipun Imam Syathibi seorang ulama Maliki—bahkan Muhammad
Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16 cabang Andalus[17]—namun
ia tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang
saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai
kesempatan ia sering menyanjung Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al-Muwafaqat
sendiri—yang akan kita bahas—sengaja disusun oleh Imam Syathibi dalam rangka
menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi.
Sedangkan sebagai respon terhadap bid’ah dan khurafat yang
berkembang saat itu, Imam Syathibi menyusun sebuah karya monumental lainnya
yaitu al-I’tisham.
Demikian sekelumit kehidupan Imam Syathibi dan kondisi masyarakat
sekitarnya yang melatarbelakangi disusunnya karya-karya agung.
Karya-karya Imam Syathibi
Karya-karya Imam Syathibi semuanya mengacu kepada dua bidang ilmu
yang menurut istilah Hammadi al-Ubaidy, ulum al- wasilah dan ulum
al-maqasid. Ulum al-wasilah adalah ilmu-ilmu bahasa Arab yang
merupakan wasilah untuk memahami Ilmu Maqasid. Untuk lebih
jelasnya, berikut ini sekilas tentang karya-karya Imam Syathibi:
1. Kitab al-Muwafaqat
Kitab ini adalah kitab paling monumental sekaligus paling dikenal
di antara karya-karya Imam Syathibi lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz dan
awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah
Imam Syathibi bermimpi, dirubah menjadi al-Muwafaqat sebagaimana akan
dijelaskan lebih jauh di penghujung bahasan ini
2. Kitab al-I’tisham
Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat.
Buku ini mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk
beluknya. Ditulis oleh Imam Syathibi dalam suatu perjalanan khusus dan beliau
meninggal terlebih dahulu sebelum merampungkan tulisannya ini.[18]
3. Kitab al-Majalis
Kitab ini merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang
terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Attanbakaty melihat faidah buku ini
dengan menyebutnya: “minal fawaid wa al-tahqiqat ma la ya’lamuhu illallah”.[19]
4. Syarah al-Khulashah
Buku ini adalah buku Ilmu Nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyyah
Ibn Malik. Terdiri dari 4 juz besar dan menurut Attanbakaty buku ini
merupakan syarah Alfiyyah Ibn Malik terbaik dari segi kedalaman dan
keluasan ilmu yang dipaparkannya.[20]
5. Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq
Buku tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah. Buku ini sebanding dengan
buku al-Khulashah karya Ibn Jinny. Hanya saja sayang buku ini sudah
hilang semenjak Imam Syathibi masih hidup.[21]
6. Ushul an-Nahw
Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm
Nahwu. Di dalamnya dibahas Qawaid Ashliyyah seputar ilmu tersebut hanya saja
sayang buku ini sudah hilang semenjak dahulu.[22]
7. Al-Ifadaat wa al-Insyadaat
Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam
Syathibi sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.
8. Fatawa al-Syathibi
Buku ini adalah buku paling bontot. Hanya saja buku ini
bukan dikarang langsung oleh Imam Syathibi hanya merupakan kumpulan
fatwa-fatwanya yang tersebar dalam Kitab al-I’tisham dan al-Muwafaqat.
Di antara sekian banyak karya Imam Syathibi ini, yang dicetak
hanya tiga buah yaitu Kitab al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat
wa al-Insyadaat.
Sekilas Tentang al-Muwafaqat
“Qalilun minka yakfiini wa lakin qaliluka la yuqalu lahu qalil”.
Demikian salah satu syair yang dikemukakan Rasyid Ridha terhadap dua buah kitab
karya Syathibi, yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham dalam Muqaddimah
Kitab al-I’tisham yang ditulisnya. Bahkan ia lebih jauh memberikan dua buah
gelar bagi Imam Syathibi yaitu Mujaddid fi al-Islam dengan Kitab al-Muwafaqat-nya
dan al-Mushlih dengan Kitab al-I’tisham-nya.[23]
Memang layak Imam Syathibi menyandang dua gelar di atas karena
dalam al-Muwafaqat ia mencoba memperbaharui pemahaman syari’ah dengan
jalan membawa aqal untuk memahami maqasid dan rahasia-rahasia
yang terkandung di dalamnya. Sementara dalam al-I’tisham ia mencoba mengembalikan
bid’ah kepada sunnah serta mencoba menawarkan konsep untuk
membangun sebuah kehidupan masyarakat yang sesuai dengan apa yang dipraktekkan
pada masa Rasulullah Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun.
Awalnya buku al-Muwafaqat ini diberi judul al-Ta’rif bi
Asrar al-Taklif karena mengungkap rahasia-rahasia di balik hukum taklif.
Akan tetapi Imam Syathibi merasa kurang cocok dengan nama ini sampai
suatu hari ia bermimpi. Dalam mimpinya ini Imam Syathibi bertemu dengan salah
seorang syaikhnya, keduanya berjalan dan bercerita dengan seksama. Lalu gurunya
itu berkata kepada Imam Syathibi: “Kemarin saya bermimpi melihat kamu membawa
sebuah buku hasil karyamu sendiri. Lalu saya bertanya kepadamu tentang judul
buku itu dan kamu mengatakan bahwa judulnya adalah al-Muwafaqat.
Saya lalu bertanya kembali maknanya dan kamu menjawab bahwa kamu mencoba
menyelaraskan dua madzhab yaitu Maliki dan Hanafi”. Setelah mimpi itu, Imam
Syathibi menggantinya dengan nama al-Muwafaqat.[24]
Dari ungkapan Imam Syathibi di atas tampak bahwa ia mencoba
menyamakan kedudukan Imam Malik dan Abu Hanifah. Ia mengangkat kedudukan Imam
Malik dan menjadikan Abu Hanifah sejajar dengan kedudukan Ibn al-Qasim, salah
seorang murid Imam Malik.
Buku ini terdiri dari 4 juz akan tetapi dilihat dari segi temanya
terbagi kepada 5 bagian:
1. Al-Muqaddimah
Ada 13 masalah yang dipaparkan dalam mukaddimah ini sebagai langkah
awal dan dasar dalam memahami pembahasan kitab al-Muwafaqat berikutnya.
2. Al-Ahkam
Membahas lima hukum taklifi dan lima hukum wadh’i di
samping itu dijelaskan pula keterkaitannya dengan maqasid al-Syari’ah.
3. Al-Maqasid
Pembahasan ini dibahas dalam juz II sampai selesai. Dalam
kesempatan ini penulis hanya akan membedah bab ini saja mengingat persoalan ini
yang membuat al-Muwafaqat membumbung tinggi.
4. Al-Adillah
Bab ini membahas tentang dua dalil yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah
serta hukum-hukum lain yang berkaitan dengannya seperti naskh, amr, nahyi dan
lainnya.
5. Al-Ijtihad wa al-Tajdid
Bab ini mengupas seputar persoalan ijtihad dan taqlid atau yang
lebih dikenal dengan Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid.
Buku al-Muwafaqat ini pertama kali dikenal di Tunis oleh para
mahasiswa dan para ulama Tunis saat itu. Kemudian untuk pertama kalinya dicetak
di Tunisia pada tahun 1302H atau 1884M di Mathba’ah al-Daulah al-Tunisiyyah
dengan tashih dari tiga ulama besar Tunisia saat itu yaitu: Syaikh Ali
al-Syanufi, Syaikh Ahmad al-Wartany dan Syaikh Shalih Qayiji. Sedangkan di Mesir
baru dicetak pertama kali tahun 1341H / 1922M atau setelah kurang lebih 38
tahun dicetak di Tunisia.[25]
Oleh karena itu, apa yang ditulis Abdullah Darraz dalam Mukaddimah
al-Muwafaqat bahwa buku ini pertama kali dicetak di Mesir, menjadi
terbantahkan.[26]
Kitab ini mulai dikenal di Mesir semenjak Muhammad Abduh mengadakan
kunjungan ke Tunisia tahun 1884M. Sejak kunjungan itulah, Abduh kemudian
memperkenalkannnya kepada Mesir dan langsung dicetak dua kali cetakan,
yang pertama ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (dicetak oleh
Maktabah Shabih di Mesir tahun 1969M) dan yang kedua ditahkik oleh Syaikh
Abdullah Darraz (dicetak oleh al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra di Mesir tanpa
tahun cetakan).[27]
Di antara ulama yang mempunyai peranan sangat penting dalam mempopulerkan
kitab ini adalah Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha serta murid
Rasyid Ridha, Abdullah Darraz. Bahkan Rasyid Ridha melihat kitab al-Muwafaqat
ini sebanding dengan al-Muqaddimah-nya Ibn Khaldun.[28]
Kitab al-Muwafaqat ini kini menjadi sangat populer bukan
hanya di Timur Tengah, tetapi juga di Barat. Di Kanada, Belanda dan Amerika
misalnya, al-Muwafaqat menjadi buku pegangan wajib bagi mereka yang mengambil
syu’bah Islamic Studies.
Karya-karya besar pun telah banyak dihasilkan, terutama dalam
bentuk disertasi dan thesis, dari mengkaji buku ini. Di antara karya-karya
dimaksud—sepengetahuan penulis untuk lingkungan Timur Tengah—adalah Ahmad
Raisuni; Nadhariyyatul Maqasid Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi;
Hammadi al-Ubaidhi; al-Syathibi wa Maqasid al-Syari’ah, Abdurrahman Zaid
al-Kailani; Qawaid al-Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi, Abdul Mun’in
Idris; Fikru al-Maqashid ‘Inda al-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat,
Abd Majid Najar; Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina
al-Syathibi wa Ibn ‘Asyur, Jailani al-Marini; al-Qawaid al-Ushuliyyah
‘Inda al-Syathibi, Basyir Mahdi al-Kabisi; al-Syathibi wa Manhajatuhu fi
Maqasid al-Syari’ah dan Habib Iyad; Maqasid al-Syari’ah fi Kitab
al-Muwafaqat li al-Syathibi.
B. Sejarah Maqashid AL-Syari’ah
Apakah sebelum Imam Syathibi Maqahid al-Syari’ah sudah ada?
Pertanyaan inilah yang hendak penulis bahas dalam sub bab kali ini.
Betul bahwa Imam Syathibi adalah Bapak Maqashid al-Syari’ah
pertama sekaligus peletak dasar Ilmu Maqashid, namun itu tidak berarti
bahwa sebelumnya tidak ada Ilmu Maqashid. Imam Syathibi lebih tepat
disebut orang yang pertama menyusun secara sistematis Maqashid al-Syari’ah
sebagaimana Imam Syafi’i—menurut kaum Sunni—dengan ilmu Ushul Fiqhnya.
Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni,[29]
pertama kali digunakan oleh at-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad
ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali menyuarakan Maqashid
al-Syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa
Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya
al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku
karangannya.
Setelah al-Hakim kemudian muncul Abu Mansur al-Maturidy (w. 333)
dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi
(w.365) dengan bukunya Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah.
Setelah al-Qaffal muncul Abu Bakar al-Abhari (w.375) dan al-Baqilany (w. 403)
masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail
wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad.
Sepeninggal al-Baqillany muncullah al-Juwaeny[30],
al-Ghazali,[31]
al-Razy,[32]
al-Amidy,[33]
Ibn Hajib, al-Baidhawi, al-Asnawi, Ibn Subuki, Ibn Abdissalam, al-Qarafi,[34]
al-Thufi,[35]
Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim.[36]
Urutan di atas adalah versi Ahmad Raisuni, sedangkan menurut Yusuf
Ahmad Muhammad al-Badawy, sejarah Maqashid al-Syari’ah ini dibagi dalam
dua fase yaitu fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase setelah Ibn Taimiyyah.[37]
Adapun menurut Hammadi al-Ubaidy orang yang pertama kali membahas Maqashid
al-Syari’ah adalah Ibrahim an-Nakha’i (w.96H), seorang tabi’in
sekaligus gurunya Hammad bin Sulaiman gurunya Abu Hanifah.
Setelah itu lalu muncul al-Ghazali, Izzuddin Abdussalam, Najmuddin
at-Thufi dan terakhir Imam Syathibi.[38]
Meskipun dengan versi yang beraneka ragam, namun dapat diambil
kesimpulan bahwa sebelum Imam Syathibi, Maqashid al-Syari’ah sudah ada
dan sudah dikenal hanya saja susunannya belum sistematis sehingga datangnya
Imam Syathibi.
C. Sekilas Tentang Maqashid al-Syari’ah MenurutImam Syathibi
Imam Syathibi membahas tentang Maqashid al-Syari’ah ini
dalam kitabnya al-Muwafaqat juz II sebanyak 313 halaman (menurut buku
cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Persoalan yang dikemukakan di dalamnya
sebanyak 62 masalah.
Dalam pembahasannya, Imam Syathibi membagi al-Maqashid ini
kepada dua bagian penting yakni Maksud Syari’ (qashdu al-syari’)
dan Maksud Mukallaf (qashdu al-mukallaf). Maksud Syari’ kemudian
dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah (maksud
syari dalam menetapakan syariat).
Dalam bagian ini ada 13 permasalahan yang dikemukakan. Namun
semuanya mengacu kepada suatu pertanyaan: “Apakah sesungguhnya maksud syari
dengan menetapkan syari’atnya itu?”
Menurut Imam Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum)
tiada lain selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul
mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan
hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.
Syathibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting yaitu dharuriyyat
(primer), hajiyyat (skunder) dan tahsinat
(tersier,lux).
Maqashid atau Maslahat Dharuriyyat adalah sesuatu
yang mesti adanya demi terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal
ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan
kehidupan[39]
seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya. Yang termasuk maslahat
atau maqashid dharuriyyat ini ada lima yaitu: agama (al-din),
jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan
aqal (al-aql).[40]
Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara
yaitu:
1. Dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan
cara manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya
2. Dari segi tidak ada (min
nahiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan
ketiadaannya.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini:
a. Menjaga agama dari segi al-wujud misalnya shalat dan
zakat b. Menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan hukuman
bagi orang murtad c. Menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan
minum d. Menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya hukuman qishash dan
diyat e. Menjaga aqal dari segi al-wujud misalnya makan dan mencari ilmu
f. Menjaga aqal dari segi al-‘adam misalnya had bagi peminum khamr g.
Menjaga an-nasl dari segi al-wujud misalnya nikah h. Menjaga an-nasl
dari segi al-‘adam misalnya had bagi pezina dan muqdzif i.
Menjaga al-mal dari segi al-wujud misalnya jual beli dan mencari rizki
j. Menjaga al-mal dari segi al-‘adam misalnya riba, memotong tangan
pencuri.
Sebelum penulis memaparkan lebih jauh cara kerja dan aflikasi dari al-dharuriyyat
al-khams ini, perlu penulis sampaikan terlebih dahulu urutan kelima dharuriyyat
ini baik menurut Imam Syathibi maupun ulama ushul lainnya. Hal ini sangat
penting karena berpengaruh pada kesimpulan hukum yang akan dihasilkan.
Urutan kelima dharuriyyat ini bersifat ijtihady bukan
naqly, artinya ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash
yang diambil dengan cara istiqra. Dalam merangkai kelima dharuriyyat
ini (ada juga yang menyebutnya dengan al-kulliyyat al-khamsah),
Imam Syathibi terkadang lebih mendahulukan aql dari pada nasl,
terkadang nasl terlebih dahulu kemudian aql dan terkadang nasl
lalu mal dan terakhir aql. Namun satu hal yang perlu dicatat
bahwa dalam susunan yang manapun Imam Syathibi tetap selalu mengawalinya dengan
din dan nafs terlebih dahulu.
Dalam al-Muwafaqat I/38, II/10, III/10 dan IV/27 urutannya
adalah sebagai berikut: ad-din (agama), an-nafs (jiwa), an-nasl
(keturunan), al-mal (harta) dan al-aql (akal).
Sedangkan dalam al-Muwafaqat III/47: ad-din, an-nafs,
al-aql, an-nasl dan al-mal.
Dan dalam al-I’tisham II/179 dan al-Muwafaqat II/299:
ad-din, an-nafs, an-nasl, al-aql dan al-mal.
Perbedaan urutan di atas, menunjukkan bahwa semuanya sah-sah saja
karena sifatnya ijtihadi.
Para ulama ushul lainnya pun tidak pernah ada kata sepakat tentang
hal ini. Bagi al-Zarkasyi misalnya, urutan itu adalah:[41]
an-nafs, al-mal, an-nasab, ad-din dan al-‘aql.
Sedangkan menurut al-Amidi:[42]
ad-din, an-nafs, an-nasl, al-aql dan al-mal.
Bagi al-Qarafi:[43]
an-nufus, al-adyan, al-ansab, al-‘uqul, al-amwal atau al-a’radh.
Sementara menurut al-Ghazali:[44]
ad-din, an-nafs, al-‘aql, an-nasl dan al-mal.
Namun urutan yang dikemukakan al-Ghazali ini adalah urutan
yang paling banyak dipegang para ulama Fiqh dan Ushul Fiqh berikutnya. Bahkan,
Abdullah Darraz, pentahkik al-Muwafaqat sendiri, memandang urutan
versi al-Ghazali ini adalah yang lebih mendekati kebenaran.[45]
Cara kerja dari kelima dharuriyyat di atas adalah
masing-masing harus berjalan sesuai dengan urutannya. Menjaga al-din
harus lebih didahulukan daripada menjaga yang lainnya; menjaga al-nafs
harus lebih didahulukan dari pada al-aql dan nasl begitu
seterusnya. Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan adalah membunuh diri
atau menceburkan diri dalam kebinasaan adalah sesuatu yang dilarang sebagaimana
bunyi teks dalam surat al-Baqarah. Akan tetapi kalau untuk kepentingan berjihad
dan kepentingan agama Allah, menjadi boleh karena sebagaimana telah disinggung
diatas bahwa menjaga agama harus didahulukan dari pada menjaga jiwa. Oleh
kerena itu, sebagian besar para ulama membolehkan istisyhad para pejuang
Palestina dengan pertimbangan hukum di atas.
Akan tetapi bagaimana dengan kasus orang sakit yang kerena suatu
kebutuhan pengobatan boleh dilihat auratnya atau musafir yang boleh mengqashar
shalat, bukankah itu berarti an-nafs lebih didahulukan dari pada ad-din?
Persoalan ini sesungguhnya bukanlah persoalan baru. Al-Amidy dalam al-Ahkam-nya,
misalnya, telah mengulas secara panjang lebar yang tidak mungkin penulis
kutipkan di sini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat langsung dalam al-Ahkam
fi Ushul al-Ahkam (sebagian membacanya al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam, akan tetapi penulis lebih condong membacanya al-Ahkam)
juz IV halaman 243-245. Dalam kesempatan ini penulis hanya akan mengutip
pendapat Abdullah Darraz karena lebih ringkas. Menurutnya bahwa dalam tataran
umum agama harus lebih didahulukan daripada yang lainnya karena ini menyangkut ushul
al-din, sedangakan dalam hal tertentu jiwa dan harta terkadang lebih
didahulukan dari pada agama (mustatsnayyat). Disinilah dibutuhkan
kejelian seorang mujtahid.[46]
Maqashid atau Maslahah Hajiyyat adalah
sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar
dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan
kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan masyaqah dan
kesempitan.[47]
Misalnya, dalam masalah ibadah adalah adanya rukhsah; shalat jama
dan qashar bagi musafir.
Maqashid atau Maslahah Tahsinat adalah
sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik
atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan
kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan masyaqah
dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak manurut
ukuran tatakrama dan kesopanan. Di antara contohnya adalah thaharah,
menutup aurat dan hilangnya najis.[48]
Ada beberapa qaidah penting yang dikemukakan Imam Syathibi dalam
menerangkan keterkaitan atau cara kerja ketiga maslahah di atas yang
tidak mungkin penulis kemukakan di sini mengingat panjangnya pembahasan
dimaksud. Namun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam masalah ke-4
halaman 13 buku al-Muwafaqat.
2. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’I al-Syari’ah lil Ifham (maksud Syari’ dalam menetapkan syari’ahnya ini adalah agar dapat
dipahami).
Bagian ini merupakan pembahasan yang peling singkat karena hanya
mencakup 5 masalah. Dalam menetapkan syari’atnya, Syari’ bertujuan agar
mukallaf dapat memahaminya, itulah maksud dari bagian kedua.
Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama,
syari’ah ini diturunkan dalam Bahasa Arab sebagaimana firmanNya dalam surat Yusuf
ayat 2; as-Syu’ara:195. Oleh kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih
dahulu memahami seluk beluk dan uslub bahasa Arab.
Dalam hal ini Imam Syathibi berkata: “Siapa orang yang hendak
memahaminya, maka dia seharusnya memahami dari sisi lidah Arab terlebih dahulu
Karena tanpa ini tidak mungkin dapat memahaminya secara mantap. Inilah
yang menjadi pokok dari pembahasan masalah ini”.[49]
Dengan bahasa lebih mudah, di samping mengetahui bahasa Arab, untuk
memahami syari’at ini juga dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan
lisan Arab seperti Ushul Fiqh, Mantiq, Ilmu Ma’ani dan yang lainnya. Karenanya,
tidaklah heran apabila bahasa Arab, Ushul Fiqh termasuk salah satu persyaratan
pokok yang harus dimiliki seorang mujtahid.
Kedua, bahwa syari’at ini ummiyyah,
maksudnya untuk dapat memahaminya tidak membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam
seperti ilmu hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar
syari’ah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila untuk memahami
syari’at ini memerlukan bantuan ilmu lain seperti ilmu alam, paling tidak ada
dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam hal
pemahaman dan dalam pelaksanaan.[50]
Syari’ah mudah dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena ia
berpangkal kepada konsep maslahah (fahuwa ajraa ‘ala i’tibari
al-maslahah).[51]
Di antara landasan bahwa syari’at ini ummiyyah adalah karena
pembawa syari’at itu sendiri (Rasulullah Saw) adalah seorang yang ummi sebagaimana
ditegaskan dalam firmanNya surat al-Jum’ah ayat 2, al-Araf ayat 158, al-Ankabut
48 dan keterangan-keterangan lainnya.
Ada kecenderungan berlebihan dari sebagian ulama yang tidak sesuai
dengan sifat syari’ah ummiyyah ini, lanjut Syathibi, yaitu bahwa
al-Qur’an mencakup semua bidang keilmuan, baik keilmuan lama ataupun modern.
Betul, lanjut Syathibi, al-Qur’an menyinggung dan sesuai dengan berbagai
disiplin ilmu, namun tidak berarti al-Qur’an mencakup semuanya, itu semua
hanyalah isyarat saja dan bukan sebagai legitimasi semua disiplin ilmu.
Ayat yang sering dijadikan dalil adalah surat an-Nahl 89 yang
berbunyi: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menjelaskan segala
sesuatu”, dn surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi: “Tidaklah Kami
lewatkan sesuatupun dari al-Qur’an”. Menurut Syathibi, kedua ayat di atas
mempunyai makna tertentu. Ayat pertama dimaksudkan mengenai masalah taklif
dan ibadah sedangkan maksud al-kitab dalam ayat kedua adalah allauh
al-mahfudz.[52]
3. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’I al-Syari’ah li al-Taklif bi
Muqtadhaha
Bagian ini dimaksudkan bahwa maksud Syari’ dalam menentukan
syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntutNya.
Masalah yang dibahas dalam bagian ini ada 12 masalah, namun semuanya
mengacu kepada dua masalah pokok yaitu:
Pertama, taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif
bima laa yuthaq).Pembahasan ini tidak akan dibahas lebih jauh karena
sebagaimana telah diketahui bersama bahwa tidaklah dianggap taklif apabila
berada di luar batas kemampuan manusia.[53]
Dalam hal ini Imam Syathibi mengatakan: “Setiap taklif yang di luar batas
kemampuan manusia, maka secara Syar’i taklif itu tidak sah meskipun akal
membolehkannya”.[54]
Apabila dakan teks Syari’ ada redaksi yang mengisyaratkan perbuatan
di luar kemampuan manusia, maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau
redaksi sebelumnya. Misalnya, furman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali
dalam keadaan muslim”. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena
mencegah kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini
adalah larangan untuk memisahkan antara keislalman dengan kehidupan di dunia
ini karena datangnya kematian tidak akan ada yang mengetahui seorangpun.
Begitu juga dengan sabda Nabi: “Janganlah kamu marah” tidak berarti
melarang marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat
dihindari. Akan tetapi maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri
ketika marah atau menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah.
Kedua, taklif yang di dalamnya terdapat masyaqah,
kesulitan (al-taklif bima fiihi masyaqqah). Persoalan inilah yang
kemudian dibahas panjang lebar oleh Imam Syathibi. Menurut Imam Syathibi,
dengan adanya taklif, Syari’ tidak bermaksud menimbulkan masyaqah
bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya di balik itu ada
manfaat tersendiri bagi mukalla.[55]
Bila dianalogkan kepada kehidupan sehari-hari, obat pahit yang diberikan
seorang dokter kepada pasien, bukan berarti memberikan kesulitan baru bagi sang
pasien akan tetapi di balik itu demi kesehatan si pasien itu sendiri pada masa
berikutnya.
Dalam masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka
sesungguhnya tidak dimaksudkan dengannya untuk menceburkan diri dalam
kebinasaan, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagai wasilah
amar makruf nahyil munkar. Demikian pula dengan hukum potong tangan bagi
pencuri, tidak dimaksudkan untuk merusak anggota badan akan tetapi demi
terpeliharanya harta orang lain.
Apabila dalam taklif ini ada masyaqah, maka sesungguhnya
ia bukanlah masyaqah tapi kulfah, sesuatu yang tidak mungkin
dapat dipisahkan dari kegiatan manusia sebagaimana dalam kacamata adat, orang
yang memikul barang atau bekerja siang malam untuk mencari kehidupan tidak
dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah satu keharusan dan
kelaziman untuk mencari nafkah. Demikian juga halnya dengan masalah
ibadah. Masyaqah seperti ini menurut Imam Syathibi disebut Masyaqah
Mu’tadah karena dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota badan dan
karenanya dalam syara’ tidak dipandang sebagai masyaqah.[56]
Yang dipandang sebagai masyaqah adalah apa yang disebutnya
dengan Masyaqah Ghair Mu’tadah atau Ghair ‘Adiyyah yaitu masaqah
yang tidak lazim dan tidak dapat dilaksanakan atau apabila dilaksanakan akan
menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Misalnya, keharusan berpuasa bagi orang
sakit dan orang jompo. Semua ini adalah masyaqah ghair mu’tadah
yang dikecam oleh Islam. Untuk mengatasi masyaqah ini, Islam memberikan
jalan keluar melalui rukhshah atau keringanan.
4. Qashdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam
al-Syari’ah
Pembahasan bagian terakhir ini merupakan pembahasan paling
panjang mencakup 20 masalah. Namun semuanya mengacu kepada pertanyaan: “Mengapa
mukallaf melaksanakan hukum Syari’ah?” Jawabannya adalah untuk mengeluarkan
mukallaf dari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi
seorang hamba yang dalam istilah Imam Syathibi disebut: hamba Allah yang ikhtiyaran
dan bukan yang idthiraran.[57]
Atau dalam istilah Dr. Ahmad Zaid: Ikhrajul ‘abd min da’iyatil hawa ila
dairatil ‘ubudiyyah.[58]
Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia
batal dan tidak ada manfa’atnya. Sebaliknya, setiap perbuatan harus senantiasa
mengikuti petunjuk Syari’ dan bukan mengikuti hawa nafsu.
Ada beberapa kaidah penting yang perlu dipahami dalam bagian ini
dan penulis tidak dapat menjelaskannya dalam bahasa Indonesia. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam al-Muwafaqat Juz II hal. 128-150.
Demikian sekilas tentang Maqashid al-Syari’ah menurut Imam
Syathibi. Gambaran di atas tentunya tidak memberikan pemahaman yang menyeluruh
tentang Maqashid Syari’ah itu sendiri, namun paling tidak tergambar bahwa
rumusan Imam Syathibi ini lebih sistematis dan lengkap dibandingkan
rumusan-rumusan para ulama Ushul sebelumnya.
Apa yang tertulis dalam al-Muwafaqat khususnya dan
karya-karta Imam Syathibi lainnya betul-betul telah mempengaruhi pemikiran para
ulama berikutnya semisal Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Abdullah
Darraj, Muhammad Thahir bin Asyur dan ‘Allal Fasy.
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mengumumkan
pentingnya ulama-ulama dan para mahasiswa Timur Tengah untuk mempelajari
karya-karya Imam Syathibi terutama al-Muwafaqat.[59]
Sama halnya dengan muridnya, Rasyid Ridha. Bahkan bukan saja terpengaruh dengan
ide maqashidnya Imam Syathibi, ia juga sangat terpengaruh dengan al-I’tishamnya
demi menghidupkan kembali harakah salafiyyah yang sejak lama diusungnya.
Demikian juga dengan Thahir bin Asyur. Ulama asal Tunis ini telah
mengarang sebuah buku berjudul Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang
sempat menggegerkan ulama Ushul Timur Tengah karena idenya yang mencoba
mengenyampingkan Ushul Fiqh dan menggantinya dengan Maqashid al-Syari’ah.
Baginya, Maqashid al-Syari’ah merupakan ilmu yang berdiri sendiri (‘ilm
mustaqil) dan terlepas dari Ilmu Ushul bahkan Ilmu Ushul dipandangnya
sebagai ilmu yang telah usang dan produk fiqhnya cenderung kurang
manusiawi. Namun demikian, idenya lahir karena pengaruh dari Imam
Syathibi, bahkan Abdul Majid Turki memandang buku Thahir bin Asyur ini sebagai mustalhaman
min kitab al-Muwafaqat (jiplakan dari kitab al-Muwafaqat).[60]
Allal Fasy, ulama asal Maroko, juga termasuk meraka yang
terpengaruh oleh ide Syathibi. Bukunya Difa’ ‘an al-Syari’ah dan Maqashid
al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha merupakan perluasan dan terkadang
pengulangan dari apa yang tertulis dalam al-Muwafaqat.
Karena besarnya pengaruh Syathibi dengan al-Muwafaqatnya inilah, ulama-ulama
Ushul kemudian sepakat menjadikan Imam Syathibi sebagai Bapak Maqashid
al-Syari’ah pertama yang telah menyusun teori-teorinya secara lengkap,
sistematis dan jelas.
Wallahu a’lam bis shawab
Aep Saepulloh Darusmanwiati, anak bimbing Dompet Dhuafa Republika,
mahasiswa pasca sarjana Universitas al-Azhar Kairo, Fakultas Syari’ah jurusan
Ushul Fiqh dan santri Madrasah al-Thibrasiyyah li Tahfidz al-Qur’an Masjid
al-Azhar Kairo.
[1]Musthafa
Said al-Khin, al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy, Beirut:
Muassasah risalah, 2000, hal. 8.
[2]Hasan
al-Turaby, Qadhaya al-Tajdid: Nahwa Manhaj Ushuly, Dar al-Hady, 2000,
hal. 18.
[3]Muhammad
Thahir bin Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Malaysia: Dar
al-Fajr, 1999, hal. 180
[4]Buku-buku
ini tidak banyak menyinggung konsep maqashidnya, tapi lebih bersifat memaparkan
perjalanan hidup Imam Syathibi. Buku ini dicetak oleh Muassasah Risalah.
[5]Sebetulnya
tempat kelahiran Imam Syathibi tidak diketahui secara persis apakah di Granada
atau di Sativa. Karena dalam teks buku al-Ifadaat sendiri hanya
disebutkan bahwa Imam Syathibi itu nasya’a bi gharnathah, hanya
tumbuh bukan dilahirkan. Demikian juga dengan tahun kelahirannya. Akan tetapi
karena tidak ada keterangan lain, maka para penulis berikutnya menjadikan
Granada sebagai tempat kelahirannya. Demikian juga dengan tahun kelahirannya,
ada yang mengatakan ia lahir sebelum tahun 720H ada juga yang setelahnya. Lihat
at-Tanbakaty, Nailul Ibtihaj, hal. 46, Abu al-Ajfan, al-Ifadat
hal. 151 dan Hammady al-Ubaidy, al-Syathibi wa Maqashid al-Syari’ah,
hal. 11.
[6]Hammady
al-Ubaidy, Ibid., hal 12.
[7]Nama
Syulair adalah bahasa Latin yang berarti al-musyammir
artinya yang berjemur karena pantulan sinar mataharinya terhadap salju yang
terdapat dalam gunung tersebut. Kadang Syulair ini disebut juga Siranqada
yang dalam bahasa Spanyol berarti arrummanaal, pusar dan perut
sekitarnya, dan juga berarti jabal al-tsalj, gunung es. Lihat
Hammady al-Ubaidy, Ibid., hal 27.
[8]Daulah
ini berjaya selama dua abad enam puluh dua tahun yaitu sejak tahun 635H-897H.
dengan runtuhnya Bani Ahmar ini sekaligus mengakhiri kehadiran Islam di
Andalusia.
[9]Hammady,
Ibid., hal. 29
[10]Ibid.,
hal. 31.
[11]Imam
Syathibi, al-I’tisham, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1982, juz I, hal., 264.
[12]Ibid.,
hal.96.
[13]Muhammad
Fadhil bin Asyur, A’lam al-Fikr al-Islamy, Tunisia: Maktabah an-Najah,
t.th., hal. 10.
[14]Ibid.,
hal. 77
[15]Ibid.
[16]Imam
Syathibi, Op.Cit., Juz II, hal., 348
[17]Muhammad
Makhluf, Syajarah an-Nur al-Zakiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Araby,
1349H., hal. 231.
[18]Muhammad
Rasyid Ridha, Mukaddimah Kitab al-I’tisham, Juz I, hal.4.
[19]Attanbakaty,
Op.Cit., hal. 48.
[20]Ibid.
[21]Ibid.,
hal. 49.
[22]Ibid.
[23]Muhammad
Rasyid Ridha, Op.Cit., hal. 4
[24]Imam
Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
t.th., Juz I, hal. 17
[25]Muhammad
Fadhil bin Asyur, Op.Cit., hal. 76.
[26]Lihat
Mukaddimah Kitab al-Muwafaqaat, Juz I, hal. 11.
[27]Hammady,
Op.Cit., hal. 101.
[28]Lihat
Mukaddimah Kitab al-I’tisham, Juz I, hal. 4.
[29]Ahmad
Raisuni, Nadhariyyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam al-Syathibi,
Beirut: al-Muassasah al-Jami’iyyah Liddirasat wan Nasyr wa al-Tauzi’,
1992, hal. 32.
[30]Nama
lengkapnya adalah Abul Ma’ali ‘Abdl Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad
bin Abdullah bin Hayuwiyah al-Juwainy. Di antara karyanya adalah: al-Burhan,
al-Waraqaat, al-Ghiyatsi, Mughitsul Khalq. Wafat tahun 478H. Lihat Ibn
Subuki, Thabaqat al-Syafi’iyyah, Juz V, hal. 165.
[31]Nama
lengkapnya Muhammad bin Muhammad al-Ghazaly al-Thusy, seorang faqih,
ushuly, filosof, sekaligus sufi. Karyanya kurang lebih 200 buah di antaranya: al-Mustashfa,
al-Mankhul, al-Wajiz, Ihya Ulumiddin dan Syifa al-Ghalil. Wafat tahun 505H.
Lihat Ibn Subuki, Ibid., juz VI, hal.191.
[32]Nama
lengkapnya Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husain at-Taimy al-Bikry. Dia adalah
seorang mufassir yang lebih dikenal dengan nama Ibn Khatib ar-Ray. Di antara
karyanya adalah Mafatih al-Ghaib, al-Aayat al-Bayyinaat, al-Mahshul dan Asas
at-Taqdis. Wafat tahun 606H. Lihat az-Zarkaly, al-A’lam, juz VI,
hal. 313.
[33]Nama
lengkapnya Ali bin Abi Ali bin Muhammad bin Salim as-Tsa’laby yang lebih
dikenal dengan nama Saifuddin al-Amidi seorang ulama ushul, theolog dan ahli
mantiq. Di antara karyanya: al-Ahkam, dan Ghayatul Maram. Wafat tahun
631H. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz XIII, hal.
140.
[34]Nama
lengkapnya adalah Ahmad bin Idris bin Abdurrahman as-Shanhaji al-Maliki.
Diantara karyanya adalah: Nafais al-Ushul, Syarh al-Mahshul, al-Furuq,
al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa ‘an al-Ahkam wa Tasharruf al-Qadhi wal Imam.
Wafat tahun 684H. Muhammad Makhluf, Op.Cit., hal. 188.
[35]Nama
lengkapnya Sulaiman bin Abdul Qawy bin Sai’d at-Thufi ash-Sharshari Najmuddin.
Di antara karyanya: Mukhtashar al-Raudhah wa Syarhuhu dan al-Iksar fi
Qawaid at-Tafsir. Wafat tahun 716H. Lihat at-Thufi, Syarh Mukhtashar
ar-Raudah, tahkik Ibrahim Ali Ibrahim, juz I, hal. 21.
[36]Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz az-Zur’I
ad-Dimasyqi yang lebih dikenal dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah seorang faqih
sekaligus ushuli. Di antara karyanya: Zadul Ma’ad, I’lam al-Muwaqi’in, Syifa
al-‘Alil dan Miftah Dar al-Sa’adah. Wafat tahun 751H. Lihat Bakar
Abu Zaid, at-Taqrib li Fiqh Ibn Qayyim, juz I, hal., 19.
[37]Yusuf
Ahmad Muhammad al-Badawy, Maqashid al-Syari’ah ‘Inda Ibn Taimiyyah,
Yordan: Dar an-Nafais, 2000, hal. 75-114.
[38]Hammady,
Op.Cit., hal. 134.
[39]Imam
Syathibi, al-Muwafaqat…, Op.Cit., Juz II, hal. 7.
[40]Ibid.,
hal 8.
[41]Az-Zarkasyi,
al-Bahr al-Muhith, Kuwait: Wizarat al-Auqaf wa al-syu’un al-Islamiyyah,
1993, Jilid VI, hal. 612.
[42]Al-Amidi,
al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Muassasah al-Halaby, 1991, Juz IV,
hal. 252.
[43]Al-Qarafi,
Syarh Tanqih al-Fushul, Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah, t.th., hal.
391.
[44]Al-Ghazali,
al-Mustashfa, Beirut: dar al-Fikr, 1997, Juz I, hal. 258.
[45]Komentar
Abdullah Darraz dalam al-Muwafaqat, Juz II, hal. 153.
[46]Ibid.,
hal. 154.
[47]Imam
Syathibi, Op.Cit., hal. 9
[48]Ibid.
[49]Ibid.,
hal 50
[50]Ibid.,
hal 53.
[51]Ibid.
[52]Ibid.,
hal 61.
[53]Akan
tetapi dalam salah satu pendapatnya, Abu Hasan al-Asy’ari membolehkan taklif
yang di luar kemampuan manusia, baik yang sifatnya menolak atau menetapkan dan
ini tentunya menyalahi Jumhur Ulama Ushul, lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa,
Juz I, hal. 81.
[54]Imam
Syathibi, Op.Cit., hal. 82.
[55]Ibid.,
hal. 93.
[56]Ibid.,
hal 94.
[57]Ibid.,
hal. 128.
[58]Ahmad
Zaid, dalam muhadharah Fiqh Maqashid yang diselenggarakan Syathibi Center,
Wisma Nusantara, 13 Agustus 2002.
[59]Abdul
Majid Turki, Munadharat fi Ushul al-Syari’ah al-Islamiyyah Baina Ibn Hazm wa
al-Baji, Beirut: Dar al-Garb al-Islamy, 1986, hal. 513.
[60]Ibid.,
hal. 477.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar