Pelajaran dari Surat Al-Muthoffifin dan Ashabul Madyan
Al-Qur’an telah menceritakan tentang kebinasaan umat-umat
terdahulu, agar menjadi pelajaran bagi ummat kemudian, diawal surat
Al-Muthaffifin ayat 1-5, menyebutkan tentang kedurhakaan yang paling banyak
terjadi antara hubungan manusia, yakni berkhianat dari segi takaran dan
timbangan. Di ayat ini juga Allah SWT memberi ancaman pada pelaku curang
tersebut.
Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dan Ibnu Majah dengan sanad yang
shahih, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ketika Rasulullah saw sampai ke
Madinah, diketahui bahwa orang-orang Madinah termasuk orang-orang yang paling
curang dalam menakar dan menimbang. Hal itu dibuktikan oleh
Rasulullah ketika melihat barang dagangan di bagian atas terlihat bagus, namun
ketika tangan Rasulullah masuk ke tengah sampai ke bawah, ternyata barang
dagangan itu busuk. Maka Allah
menurunkan ayat-ayat ini sebagai ancaman kepada orang-orang yang curang dalam
menimbang dan menakar. Setelah ayat-ayat tersebut turun, orang-orang Madinah
menjadi orang-orang yang jujur dalam menimbang dan menakar.
Pelajaran ke dua, yaitu Ashabul Madyan, kaum Nabi Syua’ib As. Masyarakat Madyan adalah kaum yang terkenal
akan kedurhakaannya. Kemaksiatan menjadi hal yang lumrah, dan curang dan menipu
dalam hal jual-beli adalah hal yang biasa dilakukan. Inilah yang harus
dihindari bagi para pedagang dizaman ini. Yang akhirnya berujung kepada adzab
Allah SWT bagi Ashabul Madyan yang di
abadikan dalam QS As Syua’ara: 177-183.
Di akhirat orang-orang yang curang dalam berdagang akan mendapatkan
siksa yang pedih dan dimasukkan Allah SWT kedalam salah satu lembah di neraka
jahannam. Sebagai mana Firman Allah SWT:
“ Wayl bagi orang-orang yang curang,
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi.”( QS:
Al-Muthaffifin: 1-3)
Qurthubi barkata, “ Kata Wayl dalam ayat diatas berarti: salah satu
lembah di neraka jahannam yang dialiri nanah para penghuni neraka”.( Tafsir
Qurthubi, jilid. 11, hal 250.).
Oleh karena itu , sebagian
ahli fikih menempatkan ghissy (penipuan, curang dan tidak menjelaskan
aib barang) termasuk ke dalam deretan dosa besar, dengan alasan memakan harta
orang lain dengan cara yang batil. Karena termasuk besarnya dosa yang mengancam
pedagang yang tidak jujur, para ahli fikih mengatakan wajib hukumnya
menjelaskan hakikat barang tanpa menutup-nutupi cacat kepada calon pembeli.
Nabi ﷺ bersabda: “
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal ia menjual
suatu barang yang terdapat cacat kepada saudaranya, melainkan ia menjelaskan
cacatnya”.( HR. Ibnu Majaah. Hadits ini dishahihkan Al-Bani).
Dalam hadits ini Rosulullah ﷺ
juga menjelaskan, bahwa menjelaskan aib barang merupakan konsekwensi
dari Ukhuwah Islamiyyah, maka sangat layak bagi Nabi ﷺ untuk tidak memasukkan para pedagang yang berbuat curang ke
dalam kelompok saudara se-Islam. Beliau
bersabda : “Barang siapa yang berbuat curang (menipu) tidak termasuk
golonganku”. (HR. Muslim).
Oleh sebab itu sebagai akhlaq mulia seorang pedagang muslim tidak
akan melakukan penipuan di dalam perniagaannya, dan bila terlanjur hendaknya ia
segera bertaubat membersihkan hartanya”.
Faham muamalat, syarat diperbolehkannya berdagang
Untuk menghindari fenomena diatas, khalifah Umar bin Khattab telah
mengambil kebijakan preventif. Beliau mengutus para petugas ke pasar-pasar
untuk mengusir para pedagang yang tidak mengerti fikih muamalat(jual-beli).
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Umar bin Khattab Ra, mengelurkan
perintah: “ Jangan berjualan di pasar ini, bagi para pedagang yang tidak
mengerti dien(muamalat)”. (sanad atsar ini dishahihkan oleh
Al-Bani). Tradisi yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ini masih berjalan
hingga abad ke-8 Hijriyah di negara- negara islam, sebagaimana dikisahkan oleh
Ibnu Al-Hajj (ulama madzhab Maliki, wafat th. 737 H), “ Di Maroko masih
terdapat seorang petugas negara yang melakukan pemeriksaan di pasar. Ia menguji
para pemilik toko tentang hukum jual-beli(muamalat) barang yang di dagangkannya
dan bagaimana riba bisa terjadi dalam transaksi dagangnya serta bagaimana cara
menghindari riba. Jika pedagang dapat menjawab dibiarkan tetap berdagang dan
jika tidak bisa menjawab maka petugas berkata, “kami tidak membiarkan engkau
berjualan di pasar karena engkau akan merugukan ummat islam.” Subhanallah..
Ada barakah dalam kejujuran
Jika kita ingin mendefinisikan apa itu produktivitas islam, maka
semuanya akan terangkum dalam satu kata “Barokah”. Mendapatkan hasil yang lebih
dari modal yang sedikit, dapat melakukan hal banyak pada waktu sempit, mampu
menggerakan hal besar dengan sedikit usaha adalah keberkahan dari Allah SWT.
Hari ini, keberkahan menjadi harta karun yang hilang. Banyak
pedagang yang mengeluhkan hilangnya keberkahan dalam perdagangan mereka, itu
disebabkan oleh mereka sendiri yang menghilangkan sifat kejujuran. Ya, karena
barakah terdapat dalam kejujuran. Coba kita teladani Rosulullah ﷺ dalam hal berdagang, beliau meletakkan
pondasi utama yaitu Kejujuran. Karena kejujuran akan melahirkan kepercayaan. Sehingga
keuntungan lebih tepatnya keberkahaan senantiasa mengalir. Dan diantara pembeli
tidak ada yang saling mengecewakan, tidak ada yang dikhawatirkan, tidak ada
yang saling mencurigai, karena landasan utama perdagangan adalah Kujujuran.
Raih derajat tinggi bersama para Nabi, Shiddiqiin, dan Syuhada
Seorang pedagang muslim, dapat meraih derajat yang tinggi bersama
para Nabi, Shiddiqiin, dan Syuhada di akhirat kelak, dan dapat keberkahan hidup
di dunia dalam hartanya. Ia dapat meraihnya melalui profesinya sebagai
pedagang. Hal itu dapat dicapai dengan sifat jujur, tidak menyembunyikan
kecatatan maupun menaikkan harga kepada calon pembeli. Sebagaimana Rosulullah
SAW bersada: “Para pedagang yang jujur lagi dapat dipercaya akan bersama
para nabi, shiddiqin dan orang-orang yang mati syahid”. ( HR. Tirmidzi, ia
berkata, “derajat hadits ini hasan”).
Sebagai seorang pedagang muslim maka sudah sepatutnya untuk
menjunjung kemuliaan akhlaq, keuntungan bukan hanya diri untuk pribadi namun
untuk orang lain juga, jangan biarkan ukhuwah sesama renggang karena hal ini.
kredibilitas diri kita adalah modal utama dalam berdagang, yaitu dengan menahan
untuk tidak menikmati kebahagiaan orang lain sebagai keberuntungan kita. Transaksi
jual-beli bukan hanya sekedar uang dan barang, tapi jual-beli harus dijadikan
amal shalih dengan niat yang benar.
Karena uang yang tidak barokah tidak akan mendapatkan ketenangan,
justru semakin menambah kegelisahan, kekurangan dan menjadikan kita hina.
Berjualan dengan akhlaq mulia, pembeli tidak hanya mendapatkan fasilitas atau
barang yang diinginkannya saja tapi ia dapat melihat kemuliaan akhlaq penjual.
Begitupun sebaliknya, pedagang yang menipu, curang dan tidak jujur
akan berada dalam kehancuran didunia dan akhirat.Waliyadzubillah
Referensi
Harta Halal Haram Kontemporer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar