Kamis, 24 Maret 2016

Ghisysy Kedzoliman Terhadap Khalayak

        Ghisysy yaitu curang dalam berdagang. Maksudnya adalah penjual menampilkan barang yang tidak sesuai dengan hakikatnya, atau ia menyembunyikan cacat barang.  Dari pengertian diatas jelas, bahwa penjual ingin meraup keuntungan yang lebih besar dari harga biasa. Seperti : penjual sepeda menservis sepedanya sedemikian rupa, sehingga pembeli tidak menyangka kalau sepeda itu bekas dipakai atau terjatuh yang menimbulkan cacat. Dan penjual hanya diam tidak memberitahukan kepada pembeli. Dalam bentuk lain dari ghisysy yaitu mengurangi timbangan dan takaran, dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari selisih barang yang ditimbang dengan benar.


Pelajaran dari Surat Al-Muthoffifin dan Ashabul Madyan 
Al-Qur’an telah menceritakan tentang kebinasaan umat-umat terdahulu, agar menjadi pelajaran bagi ummat kemudian, diawal surat Al-Muthaffifin ayat 1-5, menyebutkan tentang kedurhakaan yang paling banyak terjadi antara hubungan manusia, yakni berkhianat dari segi takaran dan timbangan. Di ayat ini juga Allah SWT memberi ancaman pada pelaku curang tersebut.    
Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ketika Rasulullah saw sampai ke Madinah, diketahui bahwa orang-orang Madinah termasuk orang-orang yang paling curang dalam menakar dan menimbang. Hal itu dibuktikan oleh Rasulullah ketika melihat barang dagangan di bagian atas terlihat bagus, namun ketika tangan Rasulullah masuk ke tengah sampai ke bawah, ternyata barang dagangan itu busuk. Maka Allah menurunkan ayat-ayat ini sebagai ancaman kepada orang-orang yang curang dalam menimbang dan menakar. Setelah ayat-ayat tersebut turun, orang-orang Madinah menjadi orang-orang yang jujur dalam menimbang dan menakar.
Pelajaran ke dua, yaitu Ashabul Madyan, kaum Nabi Syua’ib As.  Masyarakat Madyan adalah kaum yang terkenal akan kedurhakaannya. Kemaksiatan menjadi hal yang lumrah, dan curang dan menipu dalam hal jual-beli adalah hal yang biasa dilakukan. Inilah yang harus dihindari bagi para pedagang dizaman ini. Yang akhirnya berujung kepada adzab Allah SWT bagi Ashabul Madyan yang  di abadikan dalam QS As Syua’ara: 177-183.
Di akhirat orang-orang yang curang dalam berdagang akan mendapatkan siksa yang pedih dan dimasukkan Allah SWT kedalam salah satu lembah di neraka jahannam. Sebagai mana Firman Allah SWT:
  
“ Wayl bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”( QS: Al-Muthaffifin: 1-3)
Qurthubi barkata, “ Kata Wayl dalam ayat diatas berarti: salah satu lembah di neraka jahannam yang dialiri nanah para penghuni neraka”.( Tafsir Qurthubi, jilid. 11, hal 250.).
 Oleh karena itu , sebagian ahli fikih menempatkan ghissy (penipuan, curang dan tidak menjelaskan aib barang) termasuk ke dalam deretan dosa besar, dengan alasan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Karena termasuk besarnya dosa yang mengancam pedagang yang tidak jujur, para ahli fikih mengatakan wajib hukumnya menjelaskan hakikat barang tanpa menutup-nutupi cacat kepada calon pembeli.
Nabi bersabda: “ Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal ia menjual suatu barang yang terdapat cacat kepada saudaranya, melainkan ia menjelaskan cacatnya”.( HR. Ibnu Majaah. Hadits ini dishahihkan Al-Bani).
 Dalam hadits ini Rosulullah   juga menjelaskan, bahwa menjelaskan aib barang merupakan konsekwensi dari Ukhuwah Islamiyyah, maka sangat layak bagi Nabi untuk tidak memasukkan para pedagang yang berbuat curang ke dalam kelompok saudara se-Islam.  Beliau bersabda : “Barang siapa yang berbuat curang (menipu) tidak termasuk golonganku”. (HR. Muslim).
Oleh sebab itu sebagai akhlaq mulia seorang pedagang muslim tidak akan melakukan penipuan di dalam perniagaannya, dan bila terlanjur hendaknya ia segera bertaubat membersihkan hartanya”.

Faham muamalat, syarat diperbolehkannya berdagang
Untuk menghindari fenomena diatas, khalifah Umar bin Khattab telah mengambil kebijakan preventif. Beliau mengutus para petugas ke pasar-pasar untuk mengusir para pedagang yang tidak mengerti fikih muamalat(jual-beli).
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Umar bin Khattab Ra, mengelurkan perintah: “ Jangan berjualan di pasar ini, bagi para pedagang yang tidak mengerti dien(muamalat)”. (sanad atsar ini dishahihkan oleh Al-Bani). Tradisi yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ini masih berjalan hingga abad ke-8 Hijriyah di negara- negara islam, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Al-Hajj (ulama madzhab Maliki, wafat th. 737 H), “ Di Maroko masih terdapat seorang petugas negara yang melakukan pemeriksaan di pasar. Ia menguji para pemilik toko tentang hukum jual-beli(muamalat) barang yang di dagangkannya dan bagaimana riba bisa terjadi dalam transaksi dagangnya serta bagaimana cara menghindari riba. Jika pedagang dapat menjawab dibiarkan tetap berdagang dan jika tidak bisa menjawab maka petugas berkata, “kami tidak membiarkan engkau berjualan di pasar karena engkau akan merugukan ummat islam.” Subhanallah..

Ada barakah dalam kejujuran
Jika kita ingin mendefinisikan apa itu produktivitas islam, maka semuanya akan terangkum dalam satu kata “Barokah”. Mendapatkan hasil yang lebih dari modal yang sedikit, dapat melakukan hal banyak pada waktu sempit, mampu menggerakan hal besar dengan sedikit usaha adalah keberkahan dari Allah SWT.
Hari ini, keberkahan menjadi harta karun yang hilang. Banyak pedagang yang mengeluhkan hilangnya keberkahan dalam perdagangan mereka, itu disebabkan oleh mereka sendiri yang menghilangkan sifat kejujuran. Ya, karena barakah terdapat dalam kejujuran. Coba kita teladani Rosulullah dalam hal berdagang, beliau meletakkan pondasi utama yaitu Kejujuran. Karena kejujuran akan melahirkan kepercayaan. Sehingga keuntungan lebih tepatnya keberkahaan senantiasa mengalir. Dan diantara pembeli tidak ada yang saling mengecewakan, tidak ada yang dikhawatirkan, tidak ada yang saling mencurigai, karena landasan utama perdagangan adalah Kujujuran. 

Raih derajat tinggi bersama para Nabi, Shiddiqiin, dan Syuhada
Seorang pedagang muslim, dapat meraih derajat yang tinggi bersama para Nabi, Shiddiqiin, dan Syuhada di akhirat kelak, dan dapat keberkahan hidup di dunia dalam hartanya. Ia dapat meraihnya melalui profesinya sebagai pedagang. Hal itu dapat dicapai dengan sifat jujur, tidak menyembunyikan kecatatan maupun menaikkan harga kepada calon pembeli. Sebagaimana Rosulullah SAW bersada: “Para pedagang yang jujur lagi dapat dipercaya akan bersama para nabi, shiddiqin dan orang-orang yang mati syahid”. ( HR. Tirmidzi, ia berkata, “derajat hadits ini hasan”).
Sebagai seorang pedagang muslim maka sudah sepatutnya untuk menjunjung kemuliaan akhlaq, keuntungan bukan hanya diri untuk pribadi namun untuk orang lain juga, jangan biarkan ukhuwah sesama renggang karena hal ini. kredibilitas diri kita adalah modal utama dalam berdagang, yaitu dengan menahan untuk tidak menikmati kebahagiaan orang lain sebagai keberuntungan kita. Transaksi jual-beli bukan hanya sekedar uang dan barang, tapi jual-beli harus dijadikan amal shalih dengan niat yang benar.
Karena uang yang tidak barokah tidak akan mendapatkan ketenangan, justru semakin menambah kegelisahan, kekurangan dan menjadikan kita hina. Berjualan dengan akhlaq mulia, pembeli tidak hanya mendapatkan fasilitas atau barang yang diinginkannya saja tapi ia dapat melihat kemuliaan akhlaq penjual.
Begitupun sebaliknya, pedagang yang menipu, curang dan tidak jujur akan berada dalam kehancuran didunia dan akhirat.Waliyadzubillah

Referensi
Harta Halal Haram Kontemporer





                                                                                                  


Tidak ada komentar:

_Resolusi_

     Menjelang akhir tahun ini setiap orang pasti memiliki resolusi, ya memang resolusi ini dianggap penting apalagi pada moment-moment saat...