Jumat, 25 Maret 2016

RUKUN SHOLAT MENURUT EMPAT MADZHAB

A. Pendahuluan.

           Shalat merupakan salah satu tiang agama, berarti sholat adalah perkara yang sangat urgent dalam perkara ibadah. Sholat mempunyai pondasi, yaitu rukun. Jika kita ibaratkan rukun itu seperti pondasi dalam rumah, rumah tak mampu berdiri tanpa pondasi. Begitu juga dengan sholat, artinya sholat tidak akan berdiri tanpa rukun. 
            Makalah ini akan membahas seputar rukun sholat menurut empat madzhab, guna mengetahui persamaan dan perbedaan seputar rukun sholat menurut empat madzhab tersebut.          
B. Pengertian
a. secara Etimologi
Rukun merupakan suatu bagian dari bagian-bagian hakiki sesuatu (bagian inti).[1]
b. secara Terminologi
Rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat dan inti sholat. jika salah satu rukun tidak terpenuhi, berarti belum dikatakan sholat dan belum disebut sholat secara syar’i serta tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Barangsiapa yang meninggalkan rukun sholat, maka pelakunya tidak terlepas dari dua kemungkinan :
1. meninggalkannya secara sengaja. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu rukun sholat, maka sholatnya batal atau tidak sah, menurut kesepakatan ulama’.
2. meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Jika ia mampu untuk mendapatinya dan melaksanaknnya, maka ia wajib melakukannya menurut kesepakatan para ulama. Jika ia tidak dapat melakukannya, maka sholatnya batal, menurut madzhab Hanafi. Sementara, menurut jumhur ulama, rakaat yang hilang rukunnya dianggap tidak ada dan tidak dihitung satu rakaat, berarti ia harus mengganti rakaat tersebut. Kecuali jika ia lupa takbirotul ihram, maka ia wajib mengulangi sholatnya dari awal, karena pada dasarnya ia belum memulai sholat sama sekali.[2]
C. Rukun Sholat Menurut Empat Madzhab
1) Rukun Shalat menurut Mazhab Hanafi ada 6, yaitu : Takbirotul ihram, Berdiri, Membaca ayat Al-Qur’an, Ruku’, Sujud, Duduk tasyahud akhir.[3]
2) Rukun Sholat menurut Madzhab Maliki ada 15 : Niat, takbirotul ihram, berdiri (sholat fardhu), membaca Al-Fatihah, Ruku’, I’tidal, . Sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, membaca sholawat kepada nabi, salam, tuma’ninah disetiap rukunnya, tertib, niat makmum mengikuti imam.[4]
3) Rukun sholat menurut madzhab Syafi’i  ada 13 : Niat, takbirotul ihram, berdiri bagi yang mampu, membaca surat Al-Fatihah, ruku’ dan tumaninah, I’tidal dan tuma’ninah, duduk diantara dua sujud dan tuma’ninah, duduk akhir, membaca tasyahud, sholawat kepada nabi, salam pertama, niat keluar sholat, tertib (berurutan).[5]
4) Rukun sholat menurut madzhab Hambali ada 14: Takbirotul ihram, berdiri dalam sholat fardhu bagi yang mampu, membaca surat Al-Fatihah pada tiap rakaat, ruku’, i’tidal, sujud, i’tidal setelah sujud, duduk diantara dua sujud, tuma’ninah di setiap rukun, membaca tasyahud akhir, membaca sholawat nabi, duduk membaca dua salam, salam, tertib.[6]
Bisa kita bisa melihat rukun-rukun sholat diatas, imam Hanafi yang paling sedikit rukun sholatnya. Diantara keempat imam tersebut banyak sekali perbedaan-perbedaan dalam rukun sholat, ada yang memasukkannya kedalam rukun, ada yang hanya mewajibkannya. oleh karena itu kita bisa membandingkan pendapat-pendapat diantara imam empat tersebut. Diantara rukun sholat yang disepakati ulama madzhab:
1. NIAT.
            Seperti yang kita ketahui, para ulama berbeda pandapat dalam masalah niat. Ada yang memasukkan kedalam rukun dan ada yang tidak.
a) Syafi’iyah dan Malikiyah : salah satu dari rukun sholat.[7]
b) Hanafiyah dan Hanabilah : niat adalah syarat sholat, dengan makna jika sholat tanpa niat maka batal sholatnya.[8]
waktu niat
a) Hanafiyah :  sah mendahulukan niat sebelum takbirotul ihram dengan syarat tidak boleh diselingi dengan pekerjaan lain selain sholat, seperti makan, minum berbicara, dan hal-hal lain yang membatalkan sholat atau terpaut sedikit dengan takbir.[9]
b) Malikiyah : seseorang boleh mendahulukan niat sebelum takbirotul ihram tapi dengan jeda waktu yang pendek, seperti apabila ia niat ditempat yang dekat dengan masjid, kemudian ia langsung bertakbir untuk sholat tanpa niat maka sholatnya sah. Sebagian malikiyah ada yang berpendapat niat harus beriringan dengan takbirotul ihram.[10]
c) Syafi’iyah : tidak boleh mendahulukan niat sebelum takbirotul ihram, harus berbarengan, jika terlambat niat maka sholatnya tidak sah.[11]
d) Hanabilah : sholat merupakan ibadah yang niatnya boleh didahulukan seperti ibadah puasa. Mendahulukan niat atas perbuatan yang tidak berkibat mengeluarkan perbuatan tersebut dari sesuatu yang diniati, sebagaimana tidak pula mengeluarkan pelakunya dari karakter ikhlas. [12]
syarat niat dalam sholat fardhu
a) Hanafiyyah : harus mengetahui sholat yang akan dikerjakannya, contoh: dhuhur, asar. Jika sholat pada waktunya, maka cukup menetapkan waktunya, dan harus niat sholat fardhu.[13]
b) Malikiyah : dalam niat fardhu harus ditetapkan separti sholat dhuhur atau ashar, jika tidak maka tidak sah sholatnya.[14]
c) Syafi’iyyah : syarat niat dalam sholat fardhu ada 3: 1. Niat fardhiyyah, 2. Niat mengerjakan sholat (untuk membedakan dengan pekerjaan yang lain), menetapkan waktu sholat (dhuhur atau ashar).[15]
d) Hanabilah : mengenai niat fardhu ulama madzhab Hambali berbeda pandangan. Sebagian mengatakan tidak membutuhkan niat fardhu karena niat ta’yiin (penentuan) sudah mencukupi. Yang rajih yaitu niat membutuhkan 3 hal: perbuatan, penentuan (ta’yiin), dan niat fardhu, .[16]

2. TAKBIROTUL IHRAM
Para ulama sepakat takbirotul ihram merupakan rukun sholat, berdasarkan hadits “Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”(HR.Ahmad, Musnad 1/123,129)
            Lafadz  Takbir
 a) Malikiyah dan Hanabilah : shalat tidak sah kecuali dengan ucapan Allahu akbar.[17]
b) Hanafiyah dan Syafi’iyah : melafalkan takbir dibolehkan dengan mengucapkan kata-kata yang sama maknanya: Allahu A’zham, Allahu jallu,dan lainnya.[18]
            Menggunakan Bahasa Arab
a) Hanafiyah : sah menggunakan bahasa selain bahasa arab, seperti menggunakan asma Allah yang menunjukkan pengagungan kepadanaya. Contoh : Allohu kabiir, Allahu jaliil.[19]
b) Syafi’iyah : harus menggunakan bahasa arab. Dalam lafadz takbir boleh menambahkan bentuk pengagungan seperti: Allahu Jaliilu Akbar.[20]
c) Malikiyah, Hanabilah : Bagi yang mampu berbahasa arab, tidak sah baginya menggunakan bahasa lain. Imam Ahmad sangat menekankan, apabila seseorang tidak mampu berbahasa arab, maka ia wajib mempelajarinya.[21]
            Mengangkat kedua tangan
a) Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah : wajib mengangkat tangan ketika takbirotul ihram.[22]
b) Malikiyah : sunnah.[23]
3. BERDIRI  DALAM SHOLAT FARDHU BAGI YANG MAMPU
           Semua ulama madzhab sepakat bahwa berdiri wajib dalam sholat fardhu disetiap rakaat bagi yang mampu. Dari mulai takbirotul ihram, ruku’, i’tidal dengan tegak. Kecuali orang yang tidak mampu maka ia boleh duduk.[24]
Batasan Berdiri Dalam Sholat
a) Hanafiyah : jika seorang meluruskan tangannya kebawah, maka tangan itu tidak sampai pada lutut.[25]
b) Malikiyah dan Hanabilah : bukan dalam keadaan duduk, juga bukan dalam keadaan membungkuk seperti ruku’, melainkan berdiri tegak. Kepala boleh ditundukkan ke bawah tanpa mengurangi kesempurnaan berdiri.[26]
c) Syafi’iyah : Adapun batasan berdiri dalam sholat itu dengan meluruskan ruas tulang punggung, karena berdiri berkaitan dengan tulang punggung.dan tidak disyaratkan menegakkan leher karena sunnahnya menundukkan kepala. Jika berdirir sambil membungkuk atau miring ke kanan atau ke kiri, sehingga tidak bisa di namakan berdiri, maka tidak sah karena meninggalkan suatu kewajiban tanpa udzur.[27]
Kapan Seseorang Gugur Wajibnya Berdiri?
           Para ulama sepakat, bahwa wajibnya berdiri dalam sholat fardhu dan sunnah gugur bagi orang yang lemah dan tidak mampu berdiri, gugur ketika dalam kondisi takut terlihat musuh jika berdiri,  mayoritas ulama selain Syafi’iyah, gugur bagi orang yang telanjang. Ulama Hanabilah menambahkan, diantaranya: rendahnya atap bagi orang yang tak mampu keluar dan sholat dibelakang imam yang lemah yang tidak mampu berdiri.[28]
4. MEMBACA AL-FATIHAH
             Madzhab empat sepakat memasukkan Membaca Al-Fatihah  kedalam rukun sholat yang tidak boleh ditinggalkan. Ada perbedaan dalam membaca Al-Fatihah apakah di setiap rakaat ?
a) Hanafiyah dan Hanabilah : tidak wajib selain dalam dua rakaat sholat.[29]
b) Syafi’iyah dan Malikiyah : wajib dalam setiap rakaat, menurut madzhab yang benar.[30]
  Membaca Basmalah .
a) Hanafiyah : membaca basmalah sebelum Al-Fatihah dalam sholat fardhu dilarang kecuali dalam sholat sunnah sirr.[31]
b) Malikiyah dan Hanabilah : orang sholat tidak membaca basmalah diawal Fatihah akan tetapi menjadikannya sebagai permulaan surah-surah yang lain, dengan begitu maka menjadikannya sebagai permulaan surah Al-Fatihah lebih utama karena Al-Fatihah merupakan permulaan Al-Qur’an sekaligus pembukaannya.[32]
c)  Syafi’iyah : membaca basmalah itu harus dibaca baik dalam sirr maupun jahr, karena basmalah bagian dari surat Al-Fatihah.[33] Tapi disini juga masih ada yang memperselisihkannya.
Membaca Al-Fatihah dengan bahasa arab
a) Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah : wajib dengan bahasa arab, jika tidak mampu membaca huruf arab maka ia berkewajiban membacanya.[34]
b) Imam Hanafi : memperbolehkan bagi orang yang tidak pandai berbahasa arab.[35]
        Bacaan Amiin.
a) Hanafiyah : sunnah, tidak perlu mengeraskan suaranya baik imam maupun makmum.[36]
b) Malikiyah : sunnah, mengeraskan bacaan bagi makmum, dan bagi imam pilih diantara dua pilihan mengeraskan bacaan atau tidak.[37]
c) Syafi’iyah : sunnah, imam harus mengeraskan bacaan amiin, adapun makmum ada 2 pendapat, dan pendapat shohih yang paling dipilih adalah mengeraskan bacaan amiin.[38]
d) Hanabilah : sunnah, hendaknya imam dan makmum mengeraskan bacaannya.[39]

5. RUKU’.
Ruku’  adalah membungkukkan kepala dan punggung bersamaan dengan memegang kedua lutut. Detailnya , ruku’ adalah meluruskan punggung dan leher (hingga lurus, seperti papan lurus horisontal) sebagaimana yang dituturkan Imam Muslim dalam Shahihnya.
Semua ulama madzhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib dalam sholat. namun para ulama berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya tuma’ninah di dalam ruku’. Yakni ketika ruku, anggota badan harus diam, tidak ada yang bergerak.
Tuma’ninnah Dalam Ruku’
a) Hanafiyah : wajib sholat, bukan rukun.[40]
b) Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah : wajib sebagaimana ruku’ dan sujud. Karena tidak akan sempurna ruku’ seseorang sampai ia tuma’ninah di dalamnya.[41] Dan mereka sepakat apabila ruku’ disunnahkan meletakkan kedua tangan diatas lutut bukan diantara kedua lutut.[42]
Bacaan Ketika Ruku’.
a) Malikiyah : tidak ada bacaan khusus.[43]
b) Syafi’iyah, Hanafiyah, Hanabilah dan sekelompok fuqoha lainnya : membaca Subhanana Rabbiyal Azhiimi sebanyak kali.[44]
6. I’TIDAL .
           Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, ada yang dimasukkan kedalam rukun, ada yang tidak.
a) Hanafiyah : tidak  wajib, tidak termasuk dalam rukun sholat. diperbolehkan setelah ruku’ langsung sujud tapi ini makruh hukumnya.[45]
b) Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah : wajib i’tidal.[46]
Bacaan  Sami’ Allahu liman Hamidah.
a) Syafi’iyah : disunnahkan membaca “Sami’Allahu limanhamidah, Rabbana lakalhamdu mil’u samaawaati wa mil’ul  Ardhi wa mil’u ma syi’ta min syaiin”.[47]
b) Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah :  Imam tidak perlu menambah katua sami’Allahu liman hamidah, dan makmum tidak mengucapkan Rabbana lakal hamdu. Imam Malik berpendapat boleh menambahkan bacaan itu  ketika sholat sendirian.[48]
7. SUJUD.
Sujud merupakan salah satu rukun yang disepakati ulama madzhab, maka sudah seyogyanya bagi yang sholat harus sujud dua kali disetiap rakaat.
Anggota sujud
 Empat  Imam Madzhab sepakat bahwa sujud disyariatkan dengan tujuh anggota badan yaitu : wajah, kedua lutut, kedua tangan, ujung jari, dan kedua kaki.
a) Hanafiyah : yang fardhu adalah dahi dan hidung.[49]
b) Malikiyah : mempunyai pendapat saling bertentangan. Diriwayatkan dari Ibn Qasim bahwa yang wajib dari bersujud adalah dahi dan hidung. Jika keduanya tidak menempel ketempat sujud, sebaiknya shalatnya diulang jika masih ada waktu. Jika waktunya lewat maka tidak perlu.[50]
c) Syafi’iyah : yang wajib adalah dahi. Inilah yang disepakati madzhab Syafi’i. Akan tetapi, tentang anggota lainnya taerdapat dua pendapat. Pendapat yang paling kuat adalah mewajibkannya.[51]
d) Hanabilah : mewajibkan seluruh anggota sujud kecuali hidung, yang dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam madzhab Hambali.[52]
Menempelkan 7 anggota sujud secara langsung.
a) Hanafiyah dan Malikiyah :  tidak wajib, tetap sah.[53]
b) Syafi’iyah : tidak boleh, hendaknya menempelkannya secara langsung.[54]
c) Hanabilah : disunnahkan menempelkannya secara langsung.[55]
Bacaan sujud
a) Malikiyah : tidak ada bacaan yang dikhususkan.[56]
b) Hanafiyah, Syafi’iyah,dan Hanabilah : Membaca “Subhanarabbiyal A’ala”.[57]
8. DUDUK DIANTARA DUA SUJUD.
 Para ulama masih berselisih mengenai tentang wajibnya duduk diantara dua sujud, ada yang memasukkan kedalam rukun, ada yang tidak.
a) Hanafiyah :  berpendapat tidak wajib, tapi sunnah. Dan tidak termasuk dalam rukun sholat.[58]
b) Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah : mereka wewajibkan duduk diantara dua sujud dalam sholat, ketika seseorang duduk yan pertama, kemudian hanya mengangkat kepalanya saja dan duduk yang kedua, maka sholatnya tidak sah. Mereka memasukkan kedalam rukun.[59]
9. DUDUK TASYAHUD.
Tasyahud dibagi menjadi dua : tasyahud awal dan tasyahud akhir.
Duduk Tasyahud awal
a) Hanafiyah : sunnah, dan disunnahkan duduk iftirasy di kedua tasyahud.[60]
b) Malikiyah : sunnah, disunnahkan duduk tawarruk.[61]
c) Syafi’iyah : sunnah, disunnahkan duduk iftirasy pada tasyahud awal, dan duduk tawarruk pada tasyahud akhir.[62]
d) Hanabilah : wajib. Disunnahkan duduk tawarruk.[63]
 Duduk Tasyahud akhir
Para ulama sepakat tasyahud akhir merupakan rukun sholat.
10. MEMBACA TASYAHUD AKHIR
a) Hanafiyah : tidak termasuk rukun sholat, lafadz yang beliau gunakan yakni bacaan tasyahud Abdullah bin Mas’ud :
التحيات لله والصلوات والطيبات السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين أشهد أن لا إله الا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله " .[64]
b) Malikiyah : termasuk rukun sholat, bacaan tasyahud yang beliau gunakan yakni bacaan tasyahud Umar Ra :
التحيات لله الزاكيات لله الطيبات الصلوات لله السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين أشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله [65]
c) Imam Syafi’i : termasuk rukun sholat,  bacaan tasyahud yang beliau gunakan yakni bacaan tasyahud Ibnu Abbas :
التاحيات لله , سلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته, السلام علينا, و على عباد لله الصالحين, أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمداً رسول لله[66]
d) Imam Ahmad : termasuk rukun sholat, adapun bacaan yang beliau gunakan yakni bacaan tasyahud Ibnu Abbas:
التاحيات لله , والصلوات الطيبات, السلام عليك أيها النبي, ورحمة الله وبركاته, السلام علينا, وعلي عبادالله الصالحين, أشهد أن لا إله إلاالله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمداَ عبده و رسوله, اللهم صل علي محمد[67]
11. MEMBACA SHOLAWAT PADA TASYAHUD AKHIR
a) Imam Hanafi dan Imam Maliki : sunnah.[68]
b) Imam Syafi’i dan Imam Ahmad: sholawat kepada Nabi   pada tasyahud kedua fardhu.[69]
12. SALAM DALAM SHOLAT
Para ulama madzhab sepakat salam termasuk rukun sholat, kecuali imam Hanafi.
Hukum salam
a) Imam Syafi’i, Ahmad dan Malik : Orang yang selesai sholat dan berniat mengakhirinya, ia harus melakukan salam ke arah kanan dan kiri. Salam seperti ini wajib dilakukan dan tidak ada penggantinya (karena termasuk dalam rukun sholat).[70]
b) Imam Hanafi: untuk mengakhiri sholat tidak harus dengan salam, seseorang cukup keluar dari sholat karena sesuatu yang dapat membatalkannya, apakah berupa pekerjaan, hadats maupun hal lain. Hukum melakukan salam wajib, bukan rukun.[71]
  Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Ahmad sepakat 2 salam, Imam Malik dengan 1 salam.[72]
Niat keluar dari sholat ketika salam
a) Syafi’iyyah: wajib dalam kondisi duduk ketika salam pertama dan niat keluar dari sholat, karena untuk membedakan antara salam yang biasa dilakukan manusia dengan salam keluar dari sholat.[73]
b) Malikiyyah: disunnahkan niat keluar dari sholat ketika salam pertama jika dia bukan imam, jika ia imam maka ia harus niat keluar dari sholat bersama makmumnya, karena imam tidak boleh meniatkan untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan makmum ia mengikuti imam.[74]
b) Hanabilah : disunnahkan ketika salam niat untuk keluar dari shalat, bukan untuk sholawat atas malaikat, akan tetapi jika niat kedua-duanya maka tidak mengapa.[75]
Lafadz salam.
a) Imam Hanafi: cukup dengan lafadzالسلام tanpa kata عليكم”.[76]
b) Imam Hambali: diwajibkan dua kali salam dengan lafadzالسلام عليكم و رحمة الله”. Harus urut seperti ini, ini merupakan nash jika tidak maka sholatnya batal.[77]
c) Imam Syafi’i: tidak disyaratkan harus urut dalam lafadz salam, meskipun عليكم السلام  sah sholatnya tapi makruh hukumnya.[78]
d) Imam Maliki: ketika keluar sholat harus mengucapkan السلام عليكمdengan urutan dan nash seperti ini.[79]
13. TUMA’NINAH DALAM SHOLAT.
Tuma’ninah merupakan bagian dari penyempurna rukun sholat.
a) Imam Abu Hanifah : wajib.[80]
b) Imam Syafi’i : syarat sah rukun.[81]
c) Imam Ahmad dan Imam Malik: rukun sholat.[82]
13. TERTIB DALAM SHOLAT
Para ulama madzhab sepakat memasukkan tertib dalam rukun sholat, kecuali Imam Hanafi.
a) Imam Hanafi: wajib.[83]
b) Imam Syafi’i, Malik, Ahmad: termasuk dalam rukun sholat.[84]
D. PENUTUP
            Sebagaimana yang kita ketahui, rukun sholat diibaratkan seperti pondasi disebuah bangunan rumah, jika pondasi itu tidak ada maka tidak akan sempurna bangunan itu. Begitu juga dengan sholat jika salah satu rukunnya ditinggalkan, maka sholatnya tidak akan sah. Sebab sholat tak akan berdiri tanpa rukun.
            Dalam rukun sholat, para ulama banyak berbeda pendapat, itu semua dikarenakan cara pandang mereka terhadap sebuah dalil berbeda-beda, dan mereka juga mempunyai landasan-landasan yang syar’i yang mereka pegang teguh didalamnya.  Dalam pembahasan ini, saya hanya mencantumkan 13 rukun pokok yang InsyaAllah ke 13 rukun tersebut mampu mewakili semua permasalahan-permasalahan dalam sholat.
Demikian sedikit pembahasan yang saya paparan mengenai rukun sholat menurut empat madzhab, yang tetntunya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk saya pribadi dan bagi para pembaca sekalian. Wallahua’lam Bishowab.
           



DAFTAR PUSTAKA
 bin Sayyid Salim, Kamal, Abu Malik, Shahih Fiqih Sunnah terjemah, cet, ke-6,  Jakarta: Pustaka Tazkia,  1432 H/2011 M, jilid.1
Hisni, Al, Taqiyuddin, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke- 6, Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah,
Jazari, Al, Abdurrahman, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, cet,ke- 4, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011, jilid. 1.
Muhammad, Sadruddin, bin Abdurrahman, Rahmat Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-Aimmah, cet, ke- 2 , Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2012.
 Qudamah, Ibnu,  Al-Mughni, cet, pertama, Lebanon: DarAl-Kutub Al-Ilmiyah, 2008,  jilid. 1.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012.
Unais, Ibrahim, dkk, Mu’jamu Al-Wasith, cet, ke-2.
Zuhaili, Wahbah, Al Wajiz Fii Fiqh Al-Islami, cet, pertama, Damaskus: Darul Fikr, 2005, jilid. 1.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam wa adillatuhu terjemah, cet-10, jld. 2,  Jakarta: Gema Insani, 2010, jilid. 2.



[1] Ibrahim Unais,dkk, Mu’jamu Al-Wasith, cet, ke-2. Hlm. 395
[2] Abu Malik Kamal, Shahih Fiqih Sunnah, cet, ke-6, (Jakarta: Pstaka Tazkia, 2011), hlm.429, jld.1
[3] Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu ,terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, cet-10, ( Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm.21, jld.2
[4] Abdurrahman al-Jazari, Fiqih a’la madzahib al-Arba’ah, cet, ke- 4, ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), hlm. 189, jld.1
[5] Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul Akhyar fii hall ghoyat ikhtishor, cet-6, ( Dar Al- Kutub Ilmiyah-Libanon, 2012)hlm. 183
[6]Abdurrahman al-Jazari, Fiqih a’la madzahib al-Arba’ah, cet, ke-4, ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 190, jld. 1
[7]Abdurrahman al-Jazari, Fiqih a’la madzahib al-Arba’ah, cet, ke-4, ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 192, jld. 1
[8] Ibid.
[9] Abdurrahman al-Jazari, Fiqih a’la madzahib al-Arba’ah, cet, ke-4, ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 198, jld. 1
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, ( Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008) , hlm. 377, jld.1
[13] Abdurrahman al-Jazari, Fiqih a’la madzahib al-Arba’ah, cet, ke-4, ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 193-194, jld. 1
[14]Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, ( Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008) , hlm. 374, jld.1
[17] Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Rahmat al-Ummah Fi ikhtilaf Al-Ummah, cet ke- 2,  ( Beirut: Dar Al- Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 28
[18] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama ( Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 124-125.
[19] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, ( Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008) , hlm. 371, jld.1
[20] Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke- 6,  ( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah ), hlm. 155.
[21] Ibid., hlm. 370-372
[22] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama ( Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 134-135.
[23] Ibid.
[24] Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah, cet, ke- 4, ( Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 206, jld. 1
[25] Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuh terjemah, cet, ke- 10,  ( Jakarta:  Gema Insani, 2010), hlm. 30, jld. 2
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuh terjemah, cet, ke- 10,  ( Jakarta:  Gema Insani, 2010), hlm. 32, jld. 2
[29] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al Ilmiyah, 2008), hlm.381, jld.1
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke- 6,  ( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah ), hlm. 157
[34] Ibnu Qudamah, Al-Mughni,  cet, pertama, ( lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 387,  jld. 1
[35] Ibid.
[36]  Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Rahmat Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah, cet, ke- 2,  ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012) , hlm. 30
[37] Ibid.
[38] Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke- 6,  ( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah ), hlm. 173
[39] Ibnu Qudamah, Al-Mughni,  cet, pertama, ( lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 389,  jld. 1

[40] Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuh, cet ke- 10,  ( Jakarta:  Gema Insani, 2010), hlm. 24, jld. 2
[41] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, ( Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), hlm.397, jld. 1
[42] Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Ramhat Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah, cet, ke-2, (Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah-Beirut, 2012), hlm. 30
[43] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama ( Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 130.
[44] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama ( Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 130.
[45] Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Rahmah Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah, cet, ke-2,  ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 30-31.
[46] Ibid.
[47] Ibid.
[48] Ibid.
[49] Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Rahmah Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah, cet, ke-2,  ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 30-31.
[50] Ibid.
[51] Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Rahmah Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah, cet, ke-2,  ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 30-31.
[52] Ibid.
[53] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 409, jld.1
[54] Ibid.
[55] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 409, jld.1
[56] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama, ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 130
[57] Ibid.
[58] Sadruddin Muhammad bin Abdurrahman, Rahmat Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah, cet, ke- 2, (Beirut:  Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 31
[59] Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, cet, ke- 4, ( Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 216, jld. 1
[60] Sadruddin Muhammad bin Abdurrahman, Rahmat Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-Aimmah, cet, ke- 2 (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 31.
[61] Ibid.
[62] Ibid.
[63] Ibid.
[64] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 131,
[65] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 131,
[66] Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke- 6,  ( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah ), hlm. 163
[67] Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, cet, ke- 4, ( Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 214-215, jld. 1
[68] Ibid., hlm. 241
[69] Ibid.
[70] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama,  (Lebanon: DarAl-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 435,  jld. 1
[71] Ibid.
[72] Sadruddin Muhammad bin Abdurrahman, Rahmat Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-Aimmah, cet, ke- 2 (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 32.
[73] Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke- 6,  ( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah ), hlm. 165.
[74] Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, cet,ke- 4, ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 241, jld. 1
[75] Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, cet,ke- 4, ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 240, jld. 1
[76] Ibid., hlm. 241,
[77] Ibid., hlm. 240,
[78] Ibid.
[79] Ibid., hlm. 215
[80]. Wahbah Zuhaili, Al Wajiz Fii Fiqh Al-Islami, cet, pertama, (Damaskus: Darul Fikr, 2005), hlm.168, jld 1.
[81] Ibid.
[82] Ibid.
[83] Wahbah Zuhaili, Al Wajiz Fii Fiqh Al-Islami, cet, pertama, (Damaskus: Darul Fikr, 2005), hlm.168, jld. 1
[84] Ibid.

Tidak ada komentar:

_Resolusi_

     Menjelang akhir tahun ini setiap orang pasti memiliki resolusi, ya memang resolusi ini dianggap penting apalagi pada moment-moment saat...