Shalat merupakan salah satu tiang
agama, berarti sholat adalah perkara yang sangat urgent dalam perkara ibadah.
Sholat mempunyai pondasi, yaitu rukun. Jika kita ibaratkan rukun itu seperti
pondasi dalam rumah, rumah tak mampu berdiri tanpa pondasi. Begitu juga dengan
sholat, artinya sholat tidak akan berdiri tanpa rukun.
Makalah ini akan membahas seputar
rukun sholat menurut empat madzhab, guna mengetahui persamaan dan perbedaan
seputar rukun sholat menurut empat madzhab tersebut.
B. Pengertian
a. secara Etimologi
Rukun merupakan suatu
bagian dari bagian-bagian hakiki sesuatu (bagian inti).[1]
b. secara Terminologi
Rukun shalat adalah
setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat dan inti sholat.
jika salah satu rukun tidak terpenuhi, berarti belum dikatakan sholat dan belum
disebut sholat secara syar’i serta tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Barangsiapa yang
meninggalkan rukun sholat, maka pelakunya tidak terlepas dari dua kemungkinan :
1. meninggalkannya secara
sengaja. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu rukun sholat, maka
sholatnya batal atau tidak sah, menurut kesepakatan ulama’.
2. meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu.
Jika ia mampu untuk mendapatinya dan melaksanaknnya, maka ia wajib melakukannya
menurut kesepakatan para ulama. Jika ia tidak dapat melakukannya, maka
sholatnya batal, menurut madzhab Hanafi. Sementara, menurut jumhur ulama,
rakaat yang hilang rukunnya dianggap tidak ada dan tidak dihitung satu rakaat,
berarti ia harus mengganti rakaat tersebut. Kecuali jika ia lupa takbirotul
ihram, maka ia wajib mengulangi sholatnya dari awal, karena pada dasarnya ia
belum memulai sholat sama sekali.[2]
C. Rukun Sholat Menurut Empat Madzhab
1) Rukun Shalat menurut
Mazhab Hanafi ada 6, yaitu : Takbirotul ihram,
Berdiri, Membaca ayat Al-Qur’an, Ruku’, Sujud, Duduk tasyahud akhir.[3]
2) Rukun Sholat menurut
Madzhab Maliki ada 15 : Niat, takbirotul
ihram, berdiri (sholat fardhu), membaca Al-Fatihah, Ruku’, I’tidal, . Sujud,
duduk diantara dua sujud, duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, membaca
sholawat kepada nabi, salam, tuma’ninah disetiap rukunnya, tertib, niat makmum
mengikuti imam.[4]
3) Rukun sholat menurut
madzhab Syafi’i ada 13 : Niat, takbirotul ihram, berdiri bagi yang mampu, membaca surat
Al-Fatihah, ruku’ dan tumaninah, I’tidal dan tuma’ninah, duduk diantara dua
sujud dan tuma’ninah, duduk akhir, membaca tasyahud, sholawat kepada nabi,
salam pertama, niat keluar sholat, tertib (berurutan).[5]
4) Rukun sholat
menurut madzhab Hambali ada 14: Takbirotul ihram, berdiri dalam sholat
fardhu bagi yang mampu, membaca surat Al-Fatihah pada tiap rakaat, ruku’,
i’tidal, sujud, i’tidal setelah sujud, duduk diantara dua sujud, tuma’ninah di
setiap rukun, membaca tasyahud akhir, membaca sholawat nabi, duduk membaca dua
salam, salam, tertib.[6]
Bisa kita bisa melihat
rukun-rukun sholat diatas, imam Hanafi yang paling sedikit rukun sholatnya.
Diantara keempat imam tersebut banyak sekali perbedaan-perbedaan dalam rukun
sholat, ada yang memasukkannya kedalam rukun, ada yang hanya mewajibkannya.
oleh karena itu kita bisa membandingkan pendapat-pendapat diantara imam empat
tersebut. Diantara rukun sholat yang disepakati ulama madzhab:
1. NIAT.
Seperti yang kita ketahui, para ulama berbeda pandapat
dalam masalah niat. Ada yang memasukkan kedalam rukun dan ada yang tidak.
a) Syafi’iyah dan
Malikiyah : salah satu dari rukun sholat.[7]
b) Hanafiyah dan
Hanabilah : niat adalah syarat sholat, dengan makna jika sholat tanpa niat maka
batal sholatnya.[8]
waktu niat
a) Hanafiyah : sah mendahulukan niat sebelum
takbirotul ihram dengan syarat tidak boleh diselingi dengan pekerjaan lain
selain sholat, seperti makan, minum berbicara, dan hal-hal lain yang
membatalkan sholat atau terpaut sedikit dengan takbir.[9]
b) Malikiyah : seseorang boleh mendahulukan niat sebelum takbirotul ihram tapi dengan jeda
waktu yang pendek, seperti apabila ia niat ditempat yang dekat dengan masjid,
kemudian ia langsung bertakbir untuk sholat tanpa niat maka sholatnya sah.
Sebagian malikiyah ada yang berpendapat niat harus beriringan dengan takbirotul
ihram.[10]
c) Syafi’iyah : tidak boleh mendahulukan niat sebelum takbirotul
ihram, harus berbarengan, jika terlambat niat maka sholatnya tidak sah.[11]
d) Hanabilah : sholat merupakan ibadah yang niatnya boleh
didahulukan seperti ibadah puasa. Mendahulukan niat atas perbuatan yang tidak
berkibat mengeluarkan perbuatan tersebut dari sesuatu yang diniati, sebagaimana
tidak pula mengeluarkan pelakunya dari karakter ikhlas. [12]
syarat niat dalam sholat fardhu
a) Hanafiyyah : harus mengetahui sholat yang akan dikerjakannya,
contoh: dhuhur, asar. Jika sholat pada waktunya, maka cukup menetapkan
waktunya, dan harus niat sholat fardhu.[13]
b) Malikiyah : dalam niat fardhu harus ditetapkan separti sholat
dhuhur atau ashar, jika tidak maka tidak sah sholatnya.[14]
c) Syafi’iyyah : syarat niat dalam sholat fardhu ada 3: 1. Niat
fardhiyyah, 2. Niat mengerjakan sholat (untuk membedakan dengan pekerjaan yang
lain), menetapkan waktu sholat (dhuhur atau ashar).[15]
d) Hanabilah : mengenai niat fardhu ulama madzhab Hambali berbeda
pandangan. Sebagian mengatakan tidak membutuhkan niat fardhu karena niat ta’yiin
(penentuan) sudah mencukupi. Yang rajih yaitu niat membutuhkan 3 hal:
perbuatan, penentuan (ta’yiin), dan niat fardhu, .[16]
2. TAKBIROTUL IHRAM
Para ulama sepakat takbirotul ihram merupakan rukun sholat,
berdasarkan hadits “Kunci shalat adalah
bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain
perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”(HR.Ahmad,
Musnad 1/123,129)
Lafadz Takbir
a) Malikiyah dan Hanabilah :
shalat tidak sah kecuali dengan ucapan Allahu akbar.[17]
b) Hanafiyah dan Syafi’iyah : melafalkan takbir dibolehkan dengan
mengucapkan kata-kata yang sama maknanya: Allahu A’zham, Allahu jallu,dan
lainnya.[18]
Menggunakan
Bahasa Arab
a) Hanafiyah : sah menggunakan bahasa selain bahasa arab, seperti
menggunakan asma Allah yang menunjukkan pengagungan kepadanaya. Contoh : Allohu
kabiir, Allahu jaliil.[19]
b) Syafi’iyah : harus menggunakan bahasa arab. Dalam lafadz takbir
boleh menambahkan bentuk pengagungan seperti: Allahu Jaliilu Akbar.[20]
c) Malikiyah, Hanabilah : Bagi yang mampu berbahasa arab, tidak sah
baginya menggunakan bahasa lain. Imam Ahmad sangat menekankan, apabila
seseorang tidak mampu berbahasa arab, maka ia wajib mempelajarinya.[21]
Mengangkat
kedua tangan
a) Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah : wajib mengangkat
tangan ketika takbirotul ihram.[22]
b) Malikiyah : sunnah.[23]
3. BERDIRI DALAM SHOLAT
FARDHU BAGI YANG MAMPU
Semua ulama
madzhab sepakat bahwa berdiri wajib dalam sholat fardhu disetiap rakaat bagi
yang mampu. Dari mulai takbirotul ihram, ruku’, i’tidal dengan tegak. Kecuali
orang yang tidak mampu maka ia boleh duduk.[24]
Batasan Berdiri Dalam Sholat
a) Hanafiyah : jika seorang meluruskan tangannya kebawah, maka
tangan itu tidak sampai pada lutut.[25]
b) Malikiyah dan Hanabilah : bukan dalam keadaan duduk, juga bukan
dalam keadaan membungkuk seperti ruku’, melainkan berdiri tegak. Kepala boleh
ditundukkan ke bawah tanpa mengurangi kesempurnaan berdiri.[26]
c) Syafi’iyah : Adapun batasan berdiri dalam sholat itu dengan
meluruskan ruas tulang punggung, karena berdiri berkaitan dengan tulang
punggung.dan tidak disyaratkan menegakkan leher karena sunnahnya menundukkan
kepala. Jika berdirir sambil membungkuk atau miring ke kanan atau ke kiri,
sehingga tidak bisa di namakan berdiri, maka tidak sah karena meninggalkan
suatu kewajiban tanpa udzur.[27]
Kapan Seseorang Gugur Wajibnya Berdiri?
Para ulama sepakat, bahwa wajibnya
berdiri dalam sholat fardhu dan sunnah gugur bagi orang yang lemah dan tidak
mampu berdiri, gugur ketika dalam kondisi takut terlihat musuh jika
berdiri, mayoritas ulama selain Syafi’iyah,
gugur bagi orang yang telanjang. Ulama Hanabilah menambahkan, diantaranya:
rendahnya atap bagi orang yang tak mampu keluar dan sholat dibelakang imam yang
lemah yang tidak mampu berdiri.[28]
4. MEMBACA AL-FATIHAH
Madzhab empat sepakat memasukkan
Membaca Al-Fatihah kedalam rukun sholat
yang tidak boleh ditinggalkan. Ada perbedaan dalam membaca Al-Fatihah apakah di
setiap rakaat ?
a) Hanafiyah dan Hanabilah : tidak wajib selain dalam dua rakaat
sholat.[29]
b) Syafi’iyah dan Malikiyah : wajib dalam setiap rakaat, menurut
madzhab yang benar.[30]
Membaca Basmalah .
a) Hanafiyah : membaca basmalah sebelum Al-Fatihah dalam sholat
fardhu dilarang kecuali dalam sholat sunnah sirr.[31]
b) Malikiyah dan Hanabilah : orang sholat tidak membaca basmalah
diawal Fatihah akan tetapi menjadikannya sebagai permulaan surah-surah yang
lain, dengan begitu maka menjadikannya sebagai permulaan surah Al-Fatihah lebih
utama karena Al-Fatihah merupakan permulaan Al-Qur’an sekaligus pembukaannya.[32]
c) Syafi’iyah : membaca
basmalah itu harus dibaca baik dalam sirr maupun jahr, karena basmalah bagian
dari surat Al-Fatihah.[33]
Tapi disini juga masih ada yang memperselisihkannya.
Membaca Al-Fatihah dengan bahasa arab
a) Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah : wajib dengan bahasa arab,
jika tidak mampu membaca huruf arab maka ia berkewajiban membacanya.[34]
b) Imam Hanafi : memperbolehkan bagi orang yang tidak pandai
berbahasa arab.[35]
Bacaan Amiin.
a) Hanafiyah : sunnah, tidak perlu mengeraskan suaranya baik imam
maupun makmum.[36]
b) Malikiyah : sunnah, mengeraskan bacaan bagi makmum, dan bagi
imam pilih diantara dua pilihan mengeraskan bacaan atau tidak.[37]
c) Syafi’iyah : sunnah, imam harus mengeraskan bacaan amiin, adapun
makmum ada 2 pendapat, dan pendapat shohih yang paling dipilih adalah
mengeraskan bacaan amiin.[38]
d) Hanabilah : sunnah, hendaknya imam dan makmum mengeraskan
bacaannya.[39]
5. RUKU’.
Ruku’ adalah membungkukkan
kepala dan punggung bersamaan dengan memegang kedua lutut. Detailnya , ruku’
adalah meluruskan punggung dan leher (hingga lurus, seperti papan lurus
horisontal) sebagaimana yang dituturkan Imam Muslim dalam Shahihnya.
Semua ulama madzhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib dalam sholat.
namun para ulama berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya tuma’ninah di
dalam ruku’. Yakni ketika ruku, anggota badan harus diam, tidak ada yang
bergerak.
Tuma’ninnah Dalam Ruku’
a) Hanafiyah : wajib
sholat, bukan rukun.[40]
b) Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah : wajib sebagaimana ruku’ dan sujud. Karena tidak
akan sempurna ruku’ seseorang sampai ia tuma’ninah di dalamnya.[41] Dan
mereka sepakat apabila ruku’ disunnahkan meletakkan kedua tangan diatas lutut
bukan diantara kedua lutut.[42]
Bacaan Ketika Ruku’.
a) Malikiyah : tidak
ada bacaan khusus.[43]
b) Syafi’iyah,
Hanafiyah, Hanabilah dan sekelompok fuqoha lainnya : membaca Subhanana
Rabbiyal Azhiimi sebanyak kali.[44]
6. I’TIDAL .
Dalam masalah ini para ulama berbeda
pendapat, ada yang dimasukkan kedalam rukun, ada yang tidak.
a) Hanafiyah :
tidak wajib, tidak termasuk dalam rukun
sholat. diperbolehkan setelah ruku’ langsung sujud tapi ini makruh hukumnya.[45]
b) Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanabilah : wajib i’tidal.[46]
Bacaan Sami’ Allahu liman Hamidah.
a) Syafi’iyah :
disunnahkan membaca “Sami’Allahu limanhamidah, Rabbana lakalhamdu mil’u
samaawaati wa mil’ul Ardhi wa mil’u ma
syi’ta min syaiin”.[47]
b) Hanafiyah, Malikiyah
dan Hanabilah : Imam tidak perlu
menambah katua sami’Allahu liman hamidah, dan makmum tidak mengucapkan Rabbana
lakal hamdu. Imam Malik berpendapat boleh menambahkan bacaan
itu ketika sholat sendirian.[48]
7. SUJUD.
Sujud merupakan salah
satu rukun yang disepakati ulama madzhab, maka sudah seyogyanya bagi yang
sholat harus sujud dua kali disetiap rakaat.
Anggota sujud
Empat
Imam Madzhab sepakat bahwa sujud disyariatkan dengan tujuh anggota badan
yaitu : wajah, kedua lutut, kedua tangan, ujung jari, dan kedua kaki.
a) Hanafiyah : yang
fardhu adalah dahi dan hidung.[49]
b) Malikiyah :
mempunyai pendapat saling bertentangan. Diriwayatkan dari Ibn Qasim bahwa yang
wajib dari bersujud adalah dahi dan hidung. Jika keduanya tidak menempel
ketempat sujud, sebaiknya shalatnya diulang jika masih ada waktu. Jika waktunya
lewat maka tidak perlu.[50]
c) Syafi’iyah : yang
wajib adalah dahi. Inilah yang disepakati madzhab Syafi’i. Akan tetapi, tentang
anggota lainnya taerdapat dua pendapat. Pendapat yang paling kuat adalah
mewajibkannya.[51]
d) Hanabilah :
mewajibkan seluruh anggota sujud kecuali hidung, yang dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat dalam madzhab Hambali.[52]
Menempelkan 7 anggota
sujud secara langsung.
a) Hanafiyah dan
Malikiyah : tidak wajib, tetap sah.[53]
b) Syafi’iyah : tidak
boleh, hendaknya menempelkannya secara langsung.[54]
c) Hanabilah :
disunnahkan menempelkannya secara langsung.[55]
Bacaan sujud
a) Malikiyah : tidak
ada bacaan yang dikhususkan.[56]
b) Hanafiyah,
Syafi’iyah,dan Hanabilah : Membaca “Subhanarabbiyal A’ala”.[57]
8. DUDUK DIANTARA DUA
SUJUD.
Para ulama masih berselisih mengenai tentang
wajibnya duduk diantara dua sujud, ada yang memasukkan kedalam rukun, ada yang
tidak.
a) Hanafiyah : berpendapat tidak wajib, tapi sunnah. Dan
tidak termasuk dalam rukun sholat.[58]
b) Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah : mereka wewajibkan duduk diantara dua sujud dalam
sholat, ketika seseorang duduk yan pertama, kemudian hanya mengangkat kepalanya
saja dan duduk yang kedua, maka sholatnya tidak sah. Mereka memasukkan kedalam
rukun.[59]
9. DUDUK TASYAHUD.
Tasyahud dibagi menjadi
dua : tasyahud awal dan tasyahud akhir.
Duduk Tasyahud awal
a) Hanafiyah : sunnah,
dan disunnahkan duduk iftirasy di kedua tasyahud.[60]
b) Malikiyah : sunnah,
disunnahkan duduk tawarruk.[61]
c) Syafi’iyah : sunnah,
disunnahkan duduk iftirasy pada tasyahud awal, dan duduk tawarruk pada tasyahud
akhir.[62]
d) Hanabilah : wajib.
Disunnahkan duduk tawarruk.[63]
Duduk Tasyahud akhir
Para ulama sepakat
tasyahud akhir merupakan rukun sholat.
10. MEMBACA TASYAHUD
AKHIR
a) Hanafiyah : tidak
termasuk rukun sholat, lafadz yang beliau gunakan yakni bacaan tasyahud
Abdullah bin Mas’ud :
التحيات
لله والصلوات والطيبات السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته السلام علينا
وعلى عباد الله الصالحين أشهد أن لا إله الا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
" .[64]
b)
Malikiyah : termasuk rukun sholat, bacaan tasyahud yang beliau gunakan yakni
bacaan tasyahud Umar Ra :
التحيات
لله الزاكيات لله الطيبات الصلوات لله السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته
السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين أشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله [65]
c) Imam Syafi’i :
termasuk rukun sholat, bacaan tasyahud
yang beliau gunakan yakni bacaan tasyahud Ibnu Abbas :
التاحيات لله , سلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته, السلام علينا, و على
عباد لله الصالحين, أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمداً رسول لله[66]
d) Imam Ahmad :
termasuk rukun sholat, adapun bacaan yang beliau gunakan yakni bacaan tasyahud Ibnu Abbas:
التاحيات لله , والصلوات الطيبات, السلام عليك أيها النبي, ورحمة الله
وبركاته, السلام علينا, وعلي عبادالله الصالحين, أشهد أن لا إله إلاالله وحده لا
شريك له, وأشهد أن محمداَ عبده و رسوله, اللهم صل علي محمد[67]
11. MEMBACA SHOLAWAT
PADA TASYAHUD AKHIR
a) Imam Hanafi dan Imam
Maliki : sunnah.[68]
b) Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad: sholawat kepada Nabi ﷺ pada tasyahud kedua fardhu.[69]
12. SALAM DALAM SHOLAT
Para ulama madzhab
sepakat salam termasuk rukun sholat, kecuali imam Hanafi.
Hukum salam
a) Imam Syafi’i, Ahmad
dan Malik : Orang yang selesai sholat dan berniat mengakhirinya, ia harus
melakukan salam ke arah kanan dan kiri. Salam seperti ini wajib dilakukan dan
tidak ada penggantinya (karena termasuk dalam rukun sholat).[70]
b) Imam Hanafi: untuk
mengakhiri sholat tidak harus dengan salam, seseorang cukup keluar dari sholat
karena sesuatu yang dapat membatalkannya, apakah berupa pekerjaan, hadats
maupun hal lain. Hukum melakukan salam wajib, bukan rukun.[71]
Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Ahmad sepakat
2 salam, Imam Malik dengan 1 salam.[72]
Niat keluar dari sholat
ketika salam
a) Syafi’iyyah: wajib
dalam kondisi duduk ketika salam pertama dan niat keluar dari sholat, karena
untuk membedakan antara salam yang biasa dilakukan manusia dengan salam keluar
dari sholat.[73]
b) Malikiyyah:
disunnahkan niat keluar dari sholat ketika salam pertama jika dia bukan imam,
jika ia imam maka ia harus niat keluar dari sholat bersama makmumnya, karena
imam tidak boleh meniatkan untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan makmum ia
mengikuti imam.[74]
b) Hanabilah :
disunnahkan ketika salam niat untuk keluar dari shalat, bukan untuk sholawat
atas malaikat, akan tetapi jika niat kedua-duanya maka tidak mengapa.[75]
Lafadz salam.
a) Imam Hanafi: cukup
dengan lafadz “السلام”
tanpa kata “عليكم”.[76]
b) Imam Hambali:
diwajibkan dua kali salam dengan lafadz “السلام
عليكم و رحمة الله”. Harus urut seperti ini, ini
merupakan nash jika tidak maka sholatnya batal.[77]
c) Imam Syafi’i: tidak
disyaratkan harus urut dalam lafadz salam, meskipun “عليكم السلام
” sah sholatnya tapi makruh hukumnya.[78]
d) Imam Maliki: ketika
keluar sholat harus mengucapkan “السلام عليكم”
dengan urutan dan nash seperti ini.[79]
13. TUMA’NINAH
DALAM SHOLAT.
Tuma’ninah merupakan
bagian dari penyempurna rukun sholat.
a) Imam Abu Hanifah :
wajib.[80]
b) Imam Syafi’i :
syarat sah rukun.[81]
c) Imam Ahmad dan Imam
Malik: rukun sholat.[82]
13. TERTIB DALAM SHOLAT
Para ulama madzhab
sepakat memasukkan tertib dalam rukun sholat, kecuali Imam Hanafi.
a) Imam Hanafi: wajib.[83]
b) Imam Syafi’i, Malik,
Ahmad: termasuk dalam rukun sholat.[84]
D. PENUTUP
Sebagaimana yang kita ketahui, rukun sholat diibaratkan
seperti pondasi disebuah bangunan rumah, jika pondasi itu tidak ada maka tidak
akan sempurna bangunan itu. Begitu juga dengan sholat jika salah satu rukunnya
ditinggalkan, maka sholatnya tidak akan sah. Sebab sholat tak akan berdiri
tanpa rukun.
Dalam rukun sholat, para ulama banyak berbeda pendapat,
itu semua dikarenakan cara pandang mereka terhadap sebuah dalil berbeda-beda,
dan mereka juga mempunyai landasan-landasan yang syar’i yang mereka pegang
teguh didalamnya. Dalam pembahasan ini,
saya hanya mencantumkan 13 rukun pokok yang InsyaAllah ke 13 rukun
tersebut mampu mewakili semua permasalahan-permasalahan dalam sholat.
Demikian sedikit
pembahasan yang saya paparan mengenai rukun sholat menurut empat madzhab, yang
tetntunya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Mudah-mudahan tulisan ini
bermanfaat untuk saya pribadi dan bagi para pembaca sekalian. Wallahua’lam
Bishowab.
DAFTAR PUSTAKA
bin Sayyid Salim, Kamal, Abu Malik, Shahih
Fiqih Sunnah terjemah, cet, ke-6,
Jakarta: Pustaka Tazkia, 1432 H/2011
M, jilid.1
Hisni, Al,
Taqiyuddin, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke- 6, Beirut:
Dar al-Kutub Ilmiyah,
Jazari, Al,
Abdurrahman, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, cet,ke- 4, Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011, jilid. 1.
Muhammad, Sadruddin,
bin Abdurrahman, Rahmat Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-Aimmah, cet, ke- 2 , Beirut:
Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2012.
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, cet, pertama, Lebanon:
DarAl-Kutub Al-Ilmiyah, 2008, jilid. 1.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
cet, pertama, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012.
Unais,
Ibrahim, dkk, Mu’jamu Al-Wasith, cet, ke-2.
Zuhaili,
Wahbah, Al Wajiz Fii Fiqh Al-Islami, cet, pertama, Damaskus: Darul Fikr,
2005, jilid. 1.
Zuhaili,
Wahbah, Fiqih Islam wa adillatuhu terjemah, cet-10, jld. 2, Jakarta: Gema Insani, 2010, jilid. 2.
[1] Ibrahim
Unais,dkk, Mu’jamu Al-Wasith, cet, ke-2. Hlm. 395
[2] Abu
Malik Kamal, Shahih Fiqih Sunnah, cet, ke-6, (Jakarta: Pstaka Tazkia,
2011), hlm.429, jld.1
[3] Wahbah
Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu ,terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
cet-10, ( Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm.21, jld.2
[4]
Abdurrahman al-Jazari, Fiqih a’la madzahib al-Arba’ah, cet, ke- 4, (
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), hlm. 189, jld.1
[5]
Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul Akhyar fii hall ghoyat ikhtishor, cet-6,
( Dar Al- Kutub Ilmiyah-Libanon, 2012)hlm. 183
[6]Abdurrahman
al-Jazari, Fiqih a’la madzahib al-Arba’ah, cet, ke-4, ( Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 190, jld. 1
[7]Abdurrahman
al-Jazari, Fiqih a’la madzahib al-Arba’ah, cet, ke-4, ( Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 192, jld. 1
[8] Ibid.
[9] Abdurrahman
al-Jazari, Fiqih a’la madzahib al-Arba’ah, cet, ke-4, ( Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 198, jld. 1
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, ( Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
2008) , hlm. 377, jld.1
[13]
Abdurrahman al-Jazari, Fiqih a’la madzahib al-Arba’ah, cet, ke-4, (
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 193-194, jld. 1
[14]Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, ( Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
2008) , hlm. 374, jld.1
[17]
Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Rahmat al-Ummah Fi ikhtilaf Al-Ummah, cet
ke- 2, ( Beirut: Dar Al- Kutub
Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 28
[18] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama ( Beirut:
Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 124-125.
[19] Ibnu Qudamah,
Al-Mughni, cet, pertama, ( Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008) ,
hlm. 371, jld.1
[20]
Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke-
6, ( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah ),
hlm. 155.
[21] Ibid.,
hlm. 370-372
[22] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama (
Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 134-135.
[23] Ibid.
[24]
Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah, cet, ke- 4, (
Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 206, jld. 1
[25] Wahbah
Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuh terjemah, cet, ke- 10, ( Jakarta:
Gema Insani, 2010), hlm. 30, jld. 2
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28]
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuh terjemah, cet, ke- 10, ( Jakarta:
Gema Insani, 2010), hlm. 32, jld. 2
[29] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al Ilmiyah,
2008), hlm.381, jld.1
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33]
Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke-
6, ( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah ),
hlm. 157
[34] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama,
( lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 387, jld. 1
[35] Ibid.
[36] Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Rahmat
Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah, cet, ke- 2, ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012) ,
hlm. 30
[37] Ibid.
[38]
Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke-
6, ( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah ),
hlm. 173
[39] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama,
( lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 389, jld. 1
[40] Wahbah
Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuh, cet ke- 10, ( Jakarta:
Gema Insani, 2010), hlm. 24, jld. 2
[41] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, ( Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
2008), hlm.397, jld. 1
[42]
Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Ramhat Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah, cet,
ke-2, (Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah-Beirut, 2012), hlm. 30
[43] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama ( Beirut:
Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 130.
[44] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama ( Beirut:
Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 130.
[45]
Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Rahmah Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah,
cet, ke-2, ( Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 30-31.
[46] Ibid.
[47] Ibid.
[48] Ibid.
[49]
Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Rahmah Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah,
cet, ke-2, ( Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 30-31.
[50] Ibid.
[51]
Sadruddin Muhammad Bin Abdurrahman, Rahmah Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah,
cet, ke-2, ( Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 30-31.
[52] Ibid.
[53] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
2008), hlm. 409, jld.1
[54] Ibid.
[55] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
2008), hlm. 409, jld.1
[56] Ibnu
Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama, ( Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 130
[57] Ibid.
[58]
Sadruddin Muhammad bin Abdurrahman, Rahmat Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-A’immah,
cet, ke- 2, (Beirut: Dar Kutub
Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 31
[59]
Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, cet, ke- 4, (
Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 216, jld. 1
[60]
Sadruddin Muhammad bin Abdurrahman, Rahmat Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-Aimmah,
cet, ke- 2 (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 31.
[61] Ibid.
[62] Ibid.
[63] Ibid.
[64] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 131,
[65] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 131,
[66]
Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke-
6, ( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah ),
hlm. 163
[67]
Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, cet, ke- 4, (
Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 214-215, jld. 1
[68] Ibid.,
hlm. 241
[69] Ibid.
[70] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, cet, pertama,
(Lebanon: DarAl-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 435, jld. 1
[71] Ibid.
[72]
Sadruddin Muhammad bin Abdurrahman, Rahmat Al-Ummah Fii Ikhtilaf Al-Aimmah,
cet, ke- 2 (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2012), hlm. 32.
[73]
Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul akhyar fii ghoyat ikhtisar, cet, ke-
6, ( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah ),
hlm. 165.
[74]
Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, cet,ke- 4, (
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 241, jld. 1
[75]
Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, cet,ke- 4, (
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 240, jld. 1
[76] Ibid.,
hlm. 241,
[77] Ibid.,
hlm. 240,
[78] Ibid.
[79] Ibid.,
hlm. 215
[80]. Wahbah
Zuhaili, Al Wajiz Fii Fiqh Al-Islami, cet, pertama, (Damaskus: Darul
Fikr, 2005), hlm.168, jld 1.
[81] Ibid.
[82] Ibid.
[83] Wahbah
Zuhaili, Al Wajiz Fii Fiqh Al-Islami, cet, pertama, (Damaskus: Darul
Fikr, 2005), hlm.168, jld. 1
[84] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar