Biografi: Lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 - Wafat di Jakarta, 9
Desember 1975. Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir,
hadis, dan ilmu kalam. Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein
ibn Muhammad Su'ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai
sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik
Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu.
Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieq
(573-13 H/634 M), khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke-37 dari khalifah
tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya.
Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) milik
ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota
ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn
Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia
berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah
organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943),
ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di
sini ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan
dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad
Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern
sehingga, setelah kembali ke Aceh. Hasbi ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam
keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
Pada zaman demokrasi liberal ia terlibat secara aktif
mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan
ideologi di Konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan
mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat
menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini
dipegangnya hingga tahun 1972. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan
ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (honoris causa)
yang diterimanya, seperti dari Universitas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan
dari IAIN Sunan Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia
diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.
Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul). Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.
Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul). Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.
Pemikiran
Seperti halnya ulama lain, Hasbi ash-Shiddieqy berpendirian
bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan
masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik
dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syariat Islam yang
bersumber dari wahyu Allah SWT., ini kemudian dipahami oleh umat Islam melalui
metode ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam
masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh
yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah
imam-imam mujtahid pendiri mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i
dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak umat
Islam, khususnya di Indonesia, yang tidak membedakan antara syariat yang langsung
berasal dari Allah SWT, dan fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid
terhadap syariat tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa umat Islam Indonesia
cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku absolut. Akibatnya,
kitab-kitab fiqh yang ditulis imam-imam mazhab dipandang sebagai sumber
syariat, walaupun terkadang relevansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang
perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad
mereka tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkungan
geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat kita
sekarang.
Menurutnya, hukum fiqh yang dianut oleh masyarakat Islam
Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mereka
cenderung memaksakan keberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut. Sebagai
alternatif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan kembali
fiqh Islam yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus dapat
menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang sosiokultur dan religi
masyarakat Indonesia. Namun begitu, hasil ijtihad ulama masa lalu bukan berarti
harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan dipelajari secara
bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, pendapat ulama
dari mazhab manapun, asal sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat
Indonesia, dapat diterima dan diterapkan.
Untuk usaha ini, ulama harus mengembangkan dan
menggalakkan ijtihad. Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan bahwa pintu ijtihad
tidak pernah tertutup, karena ijtihad adalah suatu kebutuhan yang tidak dapat
dielakkan dari masa ke masa. Menurutnya, untuk menuju fiqh Islam yang
berwawasan ke Indonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan.
Pertama, ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum
produk ulama mazhab masa lalu. Ini dimaksudkan agar dapat dipilih pendapat yang
masih cocok untuk diterapkan dalam masyarakat kita.
Kedua, ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Hukum ini, menurutnya, berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat.
Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ tubuh, bank, asuransi, bank, air susu ibu, dan inseminasi buatan.
Kedua, ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Hukum ini, menurutnya, berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat.
Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ tubuh, bank, asuransi, bank, air susu ibu, dan inseminasi buatan.
Karena kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai
dampak kemajuan peradaban, maka pendekatan yang dilakukan untuk mengatasinya
tidak bisa terpilah-pilah pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi,
umpamanya, akan berdampak pula pada aspek-aspek lain. Oleh karena itu,
menurutnya ijtihad tidak dapat terlaksana dengan efektif kalau dilakukan oleh
pribadi-pribadi saja. Hasbi ash-Shiddieqy menawarkan gagasan ijtihad jama'i
(ijtihad kolektif). Anggotanya tidak hanya dari kalangan ulama, tetapi juga
dari berbagai kalangan ilmuwan muslim lainnya, seperti ekonom, dokter,
budayawan, dan politikus, yang mempunyai visi dan wawasan yang tajam terhadap
permasalahan umat Islam. Masing-masing mereka yang duduk dalam lembaga ijtihad
kolektif ini berusaha memberikan kontribusi pemikiran sesuai dengan keahlian
dan disiplin ilmunya. Dengan demikian, rumusan ijtihad yang diputuskan oleh
lembaga ini lebih mendekati kebenaran dan jauh lebih sesuai dengan tuntutan
situasi dan kemaslahatan masyarakat. Dalam gagasan ijtihad ini ia memandang
urgensi metodologi pengambilan dan penetapan hukum (istinbath) yang telah
dirumuskan oleh ulama seperti qias, istihsan, maslahah mursalah (maslahat) dan
urf.
Lewat ijtihad kolektif ini, umat Islam Indonesia dapat
merumuskan sendiri fiqh yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Rumusan fiqh tersebut tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi
merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Dan
memang, menurutnya hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan
memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat-istiadat, dan kecenderungan
masyarakat yang bersangkutan. Hasbi ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam
sejarahnya banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama yang mengacu kepada
adat-istiadat (urf) suatu daerah. Contoh paling tepat dalam hal ini adalah
pendapat Imam asy-Syafi'i yang berubah sesuai dengan lingkungan tempat
tinggalnya. Pendapatnya ketika masih di Irak (qaul qadim/pendapat lama) sering
berubah ketika ia berada di Mesir (qaul jadid/pendapat baru) karena perbedaan
lingkungan dan adat-istiadat kedua daerah.
Selain pemikiran di atas, ia juga melakukan ijtihad untuk
menjawab permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat. Dalam persoalan
zakat, umpamanya, pemikiran ijtihad Hasbi ash-Shiddieqy tergolong modern dan
maju. Secara umum ia sependapat dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa yang
menjadi objek zakat adalah harta, bukan orang. Oleh karena itu, dari harta anak
kecil yang belum mukalaf yang telah sampai nisabnya wajib dikeluarkan zakatnya
oleh walinya.
Hasbi ash-Shiddieqy memandang bahwa zakat adalah ibadah
sosial yang bertujuan untuk menjembatani jurang antara yang kaya dan yang
miskin . Oleh sebab itu ia berpendapat bahwa zakat dapat dipungut dari non
muslim (kafir kitabi) untuk diserahkan kembali demi kepentingan mereka sendiri.
Ia mendasarkan pendapatnya pada keputusan Umar ibn al-Khaththab (581-644 M.),
khalifah kedua setelah Nabi Muhammad saw. wafat, untuk memberikan zakat kepada
kaum zimmi atau ahluz zimmah (orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di
wilayah negara Islam) yang sudah tua dan miskin. Umar juga pernah memungut
zakat dari orang Nasrani Bani Tughlab. Pendapat ini dilandasi oleh prinsip
pembinaan kesejahteraan bersama dalam suatu negara, tanpa memandang agama dan
golongannya.
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, karena fungsi sosial zakat
adalah untuk mengentaskan kemiskinan, maka prinsip keadilan haruslah diutamakan
dalam pemungutan zakat. Ia berpendapat bahwa standarisasi ukuran nisab sebagai
syarat wajib perlu ditinjau ulang. Ia memahami ukuran nisab tidak secara
tekstual, yaitu sebagai simbol-simbol bilangan yang kaku. Ia menandaskan bahwa
nisab zakat memang telah diatur dan tidak dapat diubah menurut perkembangan
zaman. Akan tetapi, standar nisab ini harus diukur dengan emas, yaitu 20 miskal
atau 90 gram emas. Menurutnya, emas dijadikan standar nisab karena nilainya
stabil sebagai alat tukar.
Sejalan dengan tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat, ia memandang bahwa pemerintah sebagai ulil-amri (penguasa
pemerintahan di negara Islam) dapat mengambil zakat secara paksa terhadap orang
yang enggan membayarnya. Ia juga berpendapat bahwa pemerintah hendaknya
membentuk sebuah dewan zakat (baitulmal) untuk mengkoordinasi dan mengatur
pengelolaan zakat. Dewan ini haruslah berdiri sendiri, tidak dimasukkan dalam
Depertemen Keuangan atau perbendaharaan negara. Karena pentingnya masalah zakat
ini, ia mengusulkan agar pengaturannya dituangkan dalam bentuk undang-undang
yang mempunyai kekuatan hukum.
Ada beberapa sisi menarik pada diri Muhammad Hasbi,
antara lain:
Pertama, ia adalah
seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu
setengah tahun duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926). Dengan basis
pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang
pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual diakui oleh dunia
internasional. Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam Internasional Islamic
Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan (1958). Selain itu, berbeda
dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara
pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah.
Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang
dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka "angker". Namun Hasbi pada
awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari
perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh
pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam
berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya.
Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga
anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan
jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia.
Keempat, ia adalah
orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun
1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan
ini menyentak sebagian ulama Indonesia. Mereka angkat bicara menentang fiqh
(hukum in concreto) di-Indonesia-kan atau dilokalkan. Bagi mereka, fiqh dan
syariat (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Kini
setelah berlalu tigapuluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang menyatakan
masyarakat muslim Indonesia memerlukan "fiqh Indonesia" terdengar
kembali. Namun sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas
awalnya. Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi
tegaknya kebenaran sejarah.
Semasa hidupnya, Muhammad Hasbi telah menulis 72 judul
buku dan 50 artikel di bidang tafsir, hadits, fiqh dan pedoman ibadah umum.
Dalam karir akademiknya, menjelang wafat, memperoleh dua
gelar Doctor Honoris Causa karena jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan
Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di Indonesia. Satu
diperoleh dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tanggal 22 Maret 1975,
dan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1975.
Pada tanggal 9 Desember 1975, setelah beberapa hari
memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan ibadah haji, beliau berpulang
ke rahmatullah, dan jasad beliau dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat
Jakarta. Pada upacara pelepasan jenazah almarhum, turut memberi sambutan
almarhum Buya Hamka, dan pada saat pemakaman beliau dilepas oleh almarhum Mr.
Moh. Rum. Naskah terakhir yang beliau selesaikan adalah Pedoman Haji
yang kini telah banyak beredar di masyarakat luas.
*Menurut catatan ahli waris riwayat Hasbi Ash
Shiddieqy dapat dibaca di Fiqh Indonesia karangan Prof. Dr.
Nourouzzaman Shiddiqi, MA. terbitan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar