PERNIK - Ahad, 7 Oktober 2001
Barangkali karena kesejukan hujan yang mengguyur Yogyakarta setelah
kemarau yang cukup panjang-sore itu Haji Subchan memanjakan tubuhnya di kursi
teras depan rumahnya. Udara memang terasa lebih nyaman dari biasanya. Mungkin
juga akibat terlalu lelah, setelah seharian mengisi acara walimatul ‘ursy di
tiga tempat berturut-turut, rasa kantuk menyerang berat Haji Subchan. Akhirnya
ia tertidur pulas. Antara sadar dan tidak, sayup-sayup ia mendengar suara
telepon berdering.
“Apakah saya bisa berbicara dengan Haji Subchan?” tanya seorang
wanita menyapa ramah dari seberang telepon.
“Ya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”
“Benar Bapak pemilik tabungan dengan rekening bernomor...?”
“Benar!” jawab Haji Subchan singkat.
Si penelepon yang ternyata adalah customer service salah satu bank
swasta itu lalu mengeja nama Haji Subchan dengan tepat. Kemudian ia mengecek
saldo di tabungannya untuk memastikan kebenaran jawaban Haji Subchan. Setelah
yakin, petugas itu menyampaikan kabar yang membuat Haji Subchan terkesiap
sehingga jantungnya sempat berhenti berdetak.
“Hari ini tabungan Bapak bertambah tujuh puluh lima miliar rupiah!”
Haji Subchan benar-benar tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Tujuh puluh lima miliar rupiah? Mana mungkin? Dari mana uang sebanyak itu?
Tanpa pikir panjang dan menunggu penjelasan petugas itu, Haji
Subchan segera pergi menuju bank yang disebutkan itu. Ia segera menemui sang
petugas yang kemudian menunjukkan print out posisi keuangan pada buku tabungan
Haji Subchan, seraya menyodorkan lembar bukti pengiriman uang. Di dalamnya ada
berita pengiriman yang berbunyi:
“Uang titipan umat, tolong dikelola dengan baik”
Subhanallah, hati Haji Subchan memekik. Bingung, gembira, was-was
dan cemas bercampur menjadi satu. Petugas itu lalu memberikan penjelasan
terperinci:
“Uang itu berasal dari bunga bank milik 190 ribu penyetor ONH pada
tahun 1996 ini. Karena menginap di bank menunggu sampai jamaah
diberangkatkan-ada tambahan bunga bank sebesar 1,25 persen per bulan. Uang itu
menginap sekitar lima bulan, dan totalnya sekitar Rp. 1,42 tirliun. ONH tahun
itu kan Rp 7.290.000 per orang, Pak. Nah, bunga yang dihasilkan menjadi Rp 74
miliar. Dan karena uang itu juga telah menginap beberapa lama di sini, bank
kami menggenapkannya menjadi Rp 75 miliar. Kini semuanya menjadi milik Bapak,”
ujar petugas itu panjang lebar.
Haji Subchan terdiam beberapa jenak, kemudian mendesis, “Adakah
yang mau mencubitku dan mengatakan bahwa aku tidak sedang bermimpi?’
“Baiklah, bagian mana yang perlu saya cubit?” Petugas itu ternyata
mendengar apa yang diucapkan Haji Subchan.
“Oh, tidak. Tidak perlu repot-repot. Kalau pun ini hanya mimpi,
saya tidak mau bangun,” kata Haji Subchan sedikit bercanda.
Sesampainya di rumah, Haji Subchan segera membicarakan hal itu
kepada istrinya.
“Berapa tadi, Pak?' istrinya bertanya meyakinkan diri.
“Tujuh... puluh lima...miliar rupiah...” Haji Subchan mengeja
jelas.
“Syukurlah. Akhirnya doaku terkabul. Dengan uang itu aku ingin
membeli rice cooker terbaru, make-up ala selebritis, merenovasi rumah,
membelikan si buyung mobil dan...”
“Bu, stop! Jangan diteruskan!” Haji Subchan memotong ucapan
istrinya yang mengalir cepat seperti gerbong kereta api, “Ibu tahu, nggak? Ini
kan uang umat? Uang titipan?”
“Iya. Aku tahu. Aku tahu ini uang umat yang harus dikelola dengan
baik. Lalu, apa yang saya katakan tadi tidak baik? Bukankah itu juga untuk
kebaikan umat? Apakah umat tidak senang kalau kiainya hidup makmur?”
“Tapi, tidakkah ini hanya kemauan Ibu saja? Nafsu Ibu untuk memperkaya
diri? Ingat, Bu. Ini uang umat! Harus dikelola untuk kepentingan umat. Bukan
untuk kepentingan diri sendiri!”
“Ya sudah kalau Bapak tidak setuju. Nanti malam saya tidak
memasak!”
Sesaat Haji Subchan termenung. Kemudian dari mulutnya mengalir kalimat
istighfar. Setelah menyelesaikan shalat sunah dua rakaat, Haji Subchan mengadu
kepada Allah, “Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Sanggupkah hamba-Mu
menanggungnya? Sedang menghadapi istriku saja aku kerepotan? Ya Allah,
mudahkanlah bagiku agar sanggup membawa amanat yang berat ini.”
Selain kepada istrinya, Haji Subchan tidak memberitahukan perihal
uang itu kepada orang lain. Hari-harinya dilalui untuk memikirkan cara terbaik
menyalurkan uang umat itu. Siang malam, pagi sore, Haji Subchan tidak
habis-habis memikirkan jalan keluarnya. Pikiran itu selalu menguntitnya; ketika
dia hendak berangkat tidur, ketika sedang tidur, saat makan, hingga masuk ke
dalam shalatnya bagai panah-panah kecil yang menusuk-nusuk dan mengusik
kekhusyuannya.
Akhirnya, Haji Subchan menemukan rencana yang menurutnya baik.
Pertama, uang itu ingin ia jadikan sebagai trust fund, dana abadi. Uang itu
tidak akan ia belanjakan, melainkan diperlakukan sebagai angsa emas yang tidak
berhenti bertelur. Meski kepepet, induk angsa itu tidak akan ia sembelih. Hanya
telurnya saja yang ia goreng kalau ia lapar, atau ia jual kalau tiba-tiba butuh
duit.
Kedua, uang itu akan ia depositokan di bank. Kemudian
bunganya-telur angsa tadi-yang akan ia pakai. Tapi untuk yang kedua ini, Haji
Subchan sedikit bimbang. Apakah umat akan setuju? Bukankah bunga bank itu
bermasalah? Ada yang mengatakan haram dan ada yang menghalalkannya?
Setelah memantapkan hati, akhirnya Haji Subchan bermaksud
membongkar semuanya di hadapan umat. Di sebuah pengajian rutin di kampungnya,
Haji Subchan mengungkapkan semuanya.
“Jadi, uang itu mau kita apakan, Ustadz?” tanya Cak Umar, mantan
lurah di kampung itu.
“Ya justru itu saya membicarakannya di sini. Saya harap dari
pengajian ini kita bisa memperoleh jalan keluar yang baik. Dan usul saya,
seperti yang saya kemukakan di atas.”
Mas Sofyan, kemenakan Haji Subchan yang menjabat Sekdes
mengusulkan, “Menurut saya, lebih baik uang itu jangan didepositokan. Lebih
baik kita bangunkan masjid, atau klinik, atau kita sumbangkan ke Yayasan Yatim
Piatu.”
“Tapi, bukanlah masjid sudah terlalu banyak berdiri? Bukankah
Yayasan Yatim Piatu sudah banyak yang menyantuni? Lagi pula tidakkah itu akan
memanjakan umat? Menurut saya, umat jangan selamanya diberi ikan. Sekali-kali
umat harus diberi kail agar dia mau belajar mencari ikan,“ Yogi, seorang pemuda
ikut mengusulkan.
Setelah beberapa kali dibahas di pengajian, akhirnya mereka sepakat
untuk memakai uang itu sebagai kail, bukan ikan. Dengan kesepakatan itulah
pagi-pagi sekali Haji Subchan mendatangi bank guna mencairkan rekeningnya.
Namun jawaban yang diberikan petugas bank sungguh di luar dugaan.
“Maaf, Pak. Uang itu sudah dicairkan beberapa hari yang lalu.”
“Sudah dicairkan? Siapa yang mencairkan?“
“Kami tidak tahu. Ia membawa cek sesuai dengan jumlah uang yang ada
di rekening Bapak... Tujuh puluh lima miliar rupiah... Karena bukti-buktinya
kuat, kami tidak berhak menahannya.”
“Apakah dia seorang wanita setengah baya?” Haji Subchan
membayangkan istrinya.
“Benar!”
Seketika itu juga kepala Haji Subchan terasa pening dan pusing.
Tubuhnya terhuyung dan ia merasakan kepalanya menubruk benda keras!
Antara sadar dan tidak, tubuh Haji Subchan merasa digoncang-goncang
seseorang. Sayup-sayup dia mendengar suara seorang wanita, yang bercampur
dengan suara dering telepon menyebutkan namanya.
“Pak. Bangun Pak. Jangan tidur di lantai!” istrinya membangunkan.
Setelah diguncang beberapa lama, akhirnya Haji Subchan terbangun
dari tidurnya. Dia membuka kedua mata, memasang telinga, lalu mencubit
tangannya. Setelah benar-benar sadar, Haji Subchan istighfar, menarik nafas
panjang, menghembuskannya, dan berucap: “Segala puji bagi Allah. Ternyata ini
hanya mimpi. Dan mudah-mudahan memang hanya sekadar mimpi”
Salam buat para pejuang amanat Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar